DIBALIK DIAMNYA DINDA
Karya Raudina Famella
Lagi-lagi Nino pulang dengan wajah babak belur. Ia membuka pintu rumahnya. Tapi saat akan masuk, seseorang menghalangi jalannya.
“Minggir !!!” seru Nino dengan kesal. Nino menengadah. “Minggir, Tua !”
PLAK ! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Bagaimana tidak, dengan keadaan babak belur, masih sempat-sempatnya ia mengumpat Ayahnya sendiri. Ayah berkacak pinggang dan menyeret tubuh Nino menuju sofa. Ibu memandang dengan khawatir dan segera menghampiri Ayah dan Nino.
“Ya Allah, istigfar, Nino !” seru Ibu.
Ayah lalu berseru, “Darimana saja kamu ?!”
“Ya sekolah dong. Masa’ siang-siang gini dugem, yang bener aja” jawab Nino.
“Lancang kamu ! Ini lihat, surat panggilan orangtua karena kamu selalu membolos ! Memalukan !” Ayah menyodorkan secarik kertas tepat di depan wajah Nino.
“Ayah, sudah…” Ibu memegang tangan Ayah.
“Anak ini harus diberi pelajaran ! Mulai sekarang, kamu sekolah di pesantren !”
“HAH, PESANTREN ???!!!!” Nino terkejut setengah mati.
“Jangan mentang-mentang selama ini Ayah membebaskan kamu, lantas Ayah tidak tahu kelakuam liarmu di luar sana, hah ?!”
“Ayah nggak usah sok peduli deh, Ayah aja pulang kerumah seminggu sekali toh nggak ada yang ngelarang. Terus, kenapa juga Nino harus mau menuruti keinginan Ayah untuk sekolah di pesantren ? Konyol !”
“Ayah melakukan semua ini demi kebaikan kamu !” seru Ibu tersedu.
“Bu, Nino nggak mau ! Nino nggak mau sekolah di pesantren ! Pesantren itu norak dan kampungan ! Nino nggak mau !!!”
Nino berseru dengan brutal dan hendak kabur. Namun Ayah menahan tubuhnya, dibantu oleh Mang Anto, pembantu rumah tangga sekaligus tukang kebun di rumah. Ibu hanya bisa diam dan menyaksikan dengan wajah sendu. Nino kemudian dengan paksa didorong ke dalam mobil untuk segera digiring ke pesantren bersama Ayah dan Ibu.
***
Pesantren Daarul Hikam terletak di sebuah kota yang tak jauh dari Jakarta. Bandung adalah kota pilihan kedua orangtua Nino. Mungkin agar keduanya bisa dengan mudah mengunjungi Nino. Pesantren tersebut terletak di sebelah selatan kota Bandung. Dimana udara masih sejuk dan begitu asri.
“Nino, ayo turun !” seru Ayah seraya menutup pintu mobil. Nino diam. Ia tidak menggubris ucapan Ayahnya. “Kamu dengar tidak, Ayah bilang turun !”
“Ck, Iya !” Nino berdecak kesal dan kemudian turun dari mobil. Ia melihat sekeliling. Kicauan burung yang indah, pepohonan berbisik ditiup angin, sesaat seolah Nino diajak ke sebuah taman laksana padang bunga. Nino menggeleng, ia segera menepis bayangannya. Ia harus tetap pada pendiriannya untuk menentang semua ini.
***
“Ustadz Idris, kami mohon bantuannya” ucap Ayah pada Ustadz Idris, salah satu Ustadz di Pesantren Daarul Hikam yang sejak tadi berbincang dengan Ayah dan Ibu. “Tentu saja, Pak. Dengan senang hati” jawab Ustadz Idris yang mengajar sebagai guru bahasa Arab di Pesantren Daarul Hikam.
“Nino, sudah saatnya Ayah dan Ibu pulang. Mulai sekarang, kamu tinggal disini dan jangan membantah !” seru Ayah.
“Iya Nino, disini orangnya baik-baik. Semua memakai baju koko dan peci yang rapi. Di gedung sebelah sana kamu lihat para santri memakai jilbab nan rapi, cantik sekali. Kalau kamu juga jadi anak yang baik, kamu bisa memiliki istri cantik dengan jilbab indah seperti itu” Ibu tersenyum. Ustadz Idris pun ikut tersenyum. Tak lama kemudian, mobil Ayah dan Ibu pun menjauh. Tinggallah Nino bersama Ustadz Idris.
Ck, cantik apanya. Seluruh tubuh mereka saja ditutupi, mana bisa aku…batin Nino berhenti mengumpat, saat matanya menangkap sesosok bidadari berjilbab yang sangat rupawan. Ia membawa sebuah bingkisan dan menghampiri Ustadz Idris lalu menyerahkan bingkisan tersebut pada Ustadz Idris tanpa sepatah kata.
“Oleh-oleh dari Malang ya ?” tanya Ustadz Idris. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Nino terpaku menatap si gadis. Ustadz Idris yang menyadari hal itu, segera berkata, “Oh iya, Nino. Ini Dinda. Dia murid Madrasah Aliyah kelas 2 dari asrama putri. Dan Dinda, ini Nino, dia juga kelas 2 Madrasah Aliyah, murid baru di asrama putra”
“Nino, ayo turun !” seru Ayah seraya menutup pintu mobil. Nino diam. Ia tidak menggubris ucapan Ayahnya. “Kamu dengar tidak, Ayah bilang turun !”
“Ck, Iya !” Nino berdecak kesal dan kemudian turun dari mobil. Ia melihat sekeliling. Kicauan burung yang indah, pepohonan berbisik ditiup angin, sesaat seolah Nino diajak ke sebuah taman laksana padang bunga. Nino menggeleng, ia segera menepis bayangannya. Ia harus tetap pada pendiriannya untuk menentang semua ini.
***
“Ustadz Idris, kami mohon bantuannya” ucap Ayah pada Ustadz Idris, salah satu Ustadz di Pesantren Daarul Hikam yang sejak tadi berbincang dengan Ayah dan Ibu. “Tentu saja, Pak. Dengan senang hati” jawab Ustadz Idris yang mengajar sebagai guru bahasa Arab di Pesantren Daarul Hikam.
“Nino, sudah saatnya Ayah dan Ibu pulang. Mulai sekarang, kamu tinggal disini dan jangan membantah !” seru Ayah.
“Iya Nino, disini orangnya baik-baik. Semua memakai baju koko dan peci yang rapi. Di gedung sebelah sana kamu lihat para santri memakai jilbab nan rapi, cantik sekali. Kalau kamu juga jadi anak yang baik, kamu bisa memiliki istri cantik dengan jilbab indah seperti itu” Ibu tersenyum. Ustadz Idris pun ikut tersenyum. Tak lama kemudian, mobil Ayah dan Ibu pun menjauh. Tinggallah Nino bersama Ustadz Idris.
Ck, cantik apanya. Seluruh tubuh mereka saja ditutupi, mana bisa aku…batin Nino berhenti mengumpat, saat matanya menangkap sesosok bidadari berjilbab yang sangat rupawan. Ia membawa sebuah bingkisan dan menghampiri Ustadz Idris lalu menyerahkan bingkisan tersebut pada Ustadz Idris tanpa sepatah kata.
“Oleh-oleh dari Malang ya ?” tanya Ustadz Idris. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Nino terpaku menatap si gadis. Ustadz Idris yang menyadari hal itu, segera berkata, “Oh iya, Nino. Ini Dinda. Dia murid Madrasah Aliyah kelas 2 dari asrama putri. Dan Dinda, ini Nino, dia juga kelas 2 Madrasah Aliyah, murid baru di asrama putra”
Nino dengan semangat mengulurkan tangannya pada gadis yang baru saja ia ketahui bernama Dinda. Namun Dinda menempelkan kedua tangannya di dada, enggan menyentuh Nino. Nino terheran, ia mengerutkan dahinya tanda kecewa. Dinda lalu membungkukkan sedikit tubuhnya dan pergi menjauh. Ustadz Idris membalasnya dengan senyuman kemudian menepuk bahu Nino.
“Kamu harus terbiasa dengan yang seperti itu. Kalian bukan muhrim, tidak boleh saling menyentuh. Terlebih lagi, Dinda itu gadis yang pemalu” jelas Ustadz Idris. Nino mendengar penjelasan Ustadz Idris dengan seksama. Oh, jadi itu alasannya Dinda hanya diam sedari tadi ? Nino membuat kesimpulan sendiri dalam hatinya.
***
Ustadz Idris mengantar Nino ke sebuah kamar kemudian mengetuk pintunya dan munculah sesosok pria berkacamata dengan wajah teduh sambil tersenyum.
“Assalamualaikum” sapa Ustadz Idris.
“Waalaikumsalam, Ustadz” jawab pria itu.
“Fur, ini Nino. Teman sekamarmu yang baru, pindahan dari Jakarta. Dan Nino, ini Furqon. Fur, tolong bantu Nino ya” ucap Ustadz Idris. Furqon mengangguk dan mengajak Nino untuk masuk ke dalam kamar. Furqon pun membantu Nino membereskan barang-barangnya.
“Nggak usah, saya bisa sendiri” tolak Nino yang masih keras hati.
“Alangkah baiknya kita saling membantu. Lagipula saya tidak merasa direpotkan” ucap Furqon sambil tersenyum. Apa boleh buat, Nino tidak dapat mengelak.
“Da-darimana asalmu ?” tanya Nino ragu.
“Oh saya ? Kalau saya dekat kok, dari Subang” jawab Furqon.
“Sudah berapa lama disini ?” tanyanya lagi.
“Lumayan cukup lama, sejak memasuki Madrasah Tsanawiyah. Awalnya memang jenuh, tapi lama-lama betah juga” Furqon terkekeh. “Oh iya, ngomong-ngomong, bagaimana hidup di Jakarta, asik ya ? Kata teman-teman saya yang sudah bekerja disana, disana itu enak. Banyak gedung besar, jembatan besar, berbeda sekali dengan disini. Benar begitu ?” tanya Furqon dengan wajah polos. Nino hanya menjawab dengan tawa kecil. “Lho kok malah ketawa ?” Furqon heran. Nino tertawa lagi sedangkan Furqon menggaruk kepalanya, bingung. Pesantren ini…mungkin tidak terlalu buruk untukku, gumam Nino dalam hati.
***
Pikiran indah Nino tentang pesantren lenyap seketika. Nino tidak terbiasa dengan semua ini. Sholat berjamaah, saat Nino sedang enak-enaknya tidur siang. Dibangunkan untuk sholat malam saat Nino sedang menikmati mimpi indahnya. Bangun pagi buta sedang Nino masih terkantuk-kantuk. Mengaji setiap bada maghrib, piket menggosok kamar mandi, mencuci pakaian sendiri. Rasanya Nino ingin melempar dirinya jauh ke luar angkasa ! Tiap kali Nino mengeluh pada Furqon, Furqon hanya menjawab,
“Sabar, No. Nanti juga terbiasa” jurus terjitu yang selalu Furqon ucapkan itu membuat Nino ingin segera menghajar wajahnya. Tapi Nino sadar ia harus bersabar dulu untuk membuktikan semua ini pada Ayahnya.
***
Sudah pukul 2 dini hari, namun Nino tetap tidak bisa tidur. Ia mengintip tembok kecil yang memisahkan antara asrama putra dan asrama putri. Disana, ada sesosok gadis berjilbab duduk di lorong dan sedang menulis dengan wajah serius. Gadis itu…Dinda ! Nino bersorak dalam hati.
“Ssstt !” bisik Nino. Dinda terkejut dan mencari sumber suara. Matanya terbelalak. Nino dengan nekat memanjat dinding tersebut. Dinda memperhatikan dengan wajah bingung.
HUP ! Akhirnya Nino telah berada di kawasan asrama putri. Kebetulan saat itu tidak ada siapa-siapa. “Jangan takut” ucap Nino pada Dinda. Ia lalu duduk disamping Dinda yang terlihat masih canggung. “Tidak akan ketahuan, lagipula aku hanya sebentar” ucap Nino kemudian. “Aku…tidak bisa tidur, aku boleh sedikit bercerita ?” tanya Nino. Dinda tersenyum dan mengangguk. “Aku heran dengan peraturan disini. Ini itu harus dikerjakan sendiri. Padahal kan kita sudah bayar ? Harus bangun untuk sholat, mengganggu waktu tidur saja, kan ? Pagi-pagi harus mengepel lantai, memangnya kita pembantu ? Apa semua pesantren se-konyol ini ?!” keluh Nino. Dinda hanya menjawab dengan senyuman. “Kok cuma senyum?! Ngomong dong!” protesnya. Dinda lalu menulis sesuatu di bukunya dan merobekkan kertasnya yang kemudian ia berikan pada Nino.
“Jika kau menjalani semuanya dengan ikhlas, Insya Allah semua pertanyaanmu akan terjawab”
Nino membacanya dan mengerutkan dahi. Ia memandang Dinda yang sosoknya mulai menjauh. Gadis yang aneh. Mungkin suaranya jelek ya, pikirnya.
***
Hari ini hari Minggu, hari dimana seluruh santri berkumpul dan bekerja bakti membersihkan seisi pesantren. Baik putri maupun putra semua bekerja sama untuk membenahi pesantren, mulai dari mencabut rumput, membersihkan lapangan, mengumpulkan sampah dan lain-lain.
Nino mengelap peluh di wajahnya dengan kesal. Matanya memandang ke kiri dan kanan, semua juga tampak berkeringat, namun mereka tetap bisa tersenyum. Aneh.
“Ada apa, No. Semangat dong ! Ini kan hari Minggu, hari yang ditunggu seluruh santri !” Furqon menepuk bahu Nino. Nino mencibir. Apanya hari yang ditunggu-tunggu, kerja bakti begini, mana panas lagi ! umpat Nino dalam hati. Matanya kembali memandang ke kanan dan ke kiri. Nino menyipitkan matanya. Oh ternyata ini maksud Furqon ‘Hari minggu adalah hari yang ditunggu semua santri’ ?! Agar bisa saling melirik dengan santri dari asrama sebelah, tebak Nino dalam hati. Namun tawanya segera lenyap ketika ia mendapati sesosok bidadarinya, siapa lagi kalau bukan Dinda.
“Dinda, lagi apa ?” sapa Nino pada Dinda yang sedang mengelap jendela. Dinda menoleh dan lagi-lagi ia hanya menjawab dengan senyuman. “Din, kok nggak jawab sih?! Suaranya jelek ya ?!” Nino mulai kesal. Dinda masih tersenyum. “Ya, terserah deh !” Nino pergi meninggalkan Dinda dan terduduk di lorong kelas dengan malas.
“Nino, sedang apa ? Jangan malas-malasan, beberapa menit lagi adzan dzuhur. Kita sholat berjamaah, lalu makan siang bersama” sapa Ustadz Idris membuyarkan lamunan Nino.
“Males ah Ustadz, capek !” keluh Nino.
“Kamu pilih mencabut rumput, mengepel lapangan atau diskors ?” ancam Ustadz Idris dengan halus.
“I-iya, iya deh Ustadz !” Nino pun bangkit dari duduknya. Terlihat dari kejauhan Furqon sedang menertawakannya. Nino menggerutu sendiri sambil berjalan menuju lapangan. Saat melewati dapur, Nino mencium harum masakan yang membuat ia penasaran. Terlebih lagi dari balik jendela ia melihat Dinda juga ada disana sedang mengaduk masakan dalam panci.
“Lagi bikin apa nih, Din ?” sapa Nino. Lagi dan lagi, Dinda hanya menjawab dengan senyuman. “Din, kamu kenapa sih nggak pernah mau bicara sama aku ? Aku punya salah apa sama kamu ?” tanya Nino dengan nada agak tinggi. Dinda hanya menggeleng dan tersenyum. “Lantas kenapa ? Suaramu jelek ? Kamu malu, gitu ? Atau…KAMU BISU YA ?!” Nino tak dapat lagi menahan kekesalannya. Kali ini semua mata memandang Nino. Nino terdiam dan menjadi kikuk. Kenapa semua orang memandangku ?! Nino bertanya-tanya dalam hati.
***
“Fur, kamu kok nggak pernah bilang sih kalo Dinda itu memang…bisu ?” protes Nino pada Furqon. Nino sejak tadi gelisah, ia terus mondar-mandir di dalam kamar.
“Kamu tidak tanya kan ?” Furqon malah balik bertanya. Pertanyaan Furqon membuat Nino benar-benar gemas ingin mencubit hidung teman sekamarnya itu. “Makanya, kalau bicara hati-hati, jangan sembarangan. Pikirkan dulu akibat dari ucapanmu, No. Dasar, anak Jakarte” Furqon terkekeh.
Akhirnya Furqon segera menceritakan segala hal yang ia ketahui tentang Dinda ketika Nino benar-benar hendak mencekik lehernya karena kesal. Dinda cacat sejak lahir, Ayahnya meninggal ketika Ibunya mengandung dirinya. Dan saat ini ia hanya tinggal bersama Ibunya di Malang. Banyak kisah tentangnya, tentang masa lalu Dinda yang suram. Dinda selalu dicemooh oleh teman-temannya, bahkan Dinda pernah mencoba untuk bunuh diri. Akhirnya, Ibunya membawanya kesini. Disini, Dinda merasa sangat senang. Ia menemukan teman-teman yang sangat baik. Bahkan ia terus mengasah bakatnya menulis puisi.
“Puisi Dinda pernah menjadi juara nasional lho !” seru Furqon. Nino mendengarkan cerita Furqon dengan seksama sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Nino tidak menyangka, banyak orang yang tak seberuntung dirinya. Nino menyesal. Nino ingin berubah. “Oh iya No, kabarnya, Dinda mau pindah dari pesantren ini. Ibunya menikah lagi dengan pria asal Cairo dan Dinda pun akan melanjutkan sekolah disana. Wah, beruntung sekali ya Dinda itu !” seketika semua lamunan Nino buyar oleh kabar yang baru saja Furqon beritahukan padanya.
“Yang benar, Fur ?! Kapan pindahnya ?”
“Kalau tidak salah sih…besok” gumam Furqon.
“Besok ?!” Nino terkejut setengah mati.
***
Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, Nino segera keluar dari kamarnya. Ia mengintip asrama putri dari balik dinding mencari sosok Dinda. Nino sangat menyesal atas kejadian kemarin. Ia ingin segera meminta maaf pada Dinda.
“Nino, sedang apa ?” sapa Ustadz Idris. Nino terlonjak. Ia menoleh sembari cengengesan. Malu, karena tertangkap basah oleh Ustadz Idris.
“Eh, Ustadz…ini, anu…nggak ada apa-apa kok Ustadz. Cuma lagi olahraga aja” Nino tertawa dipaksakan.
“Olahraga, olahraga, cepat masuk ke dalam. Hari ini giliranmu piket” ucap Ustadz Idris. Nino mengangguk cepat. Setelah Ustadz Idris menjauh, ia kembali mengintip. Ia melihat Dinda sedang berjalan diiringi teman-temannya dengan membawa tas ransel menuju gerbang pesantren. Nino segera berlari mengejarnya.
“Dinda !” seru Nino. Dinda dan teman-temannya menoleh. Ia tersenyum. “Din, MAAF ! Aku bener-bener minta maaf ! Aku tahu ucapanku menyakitkan, aku mohon maafin aku ya, Din !” seru Nino sambil menunduk, ia tak sanggup menatap wajah Dinda. Dinda lalu memberikan secarik kertas pada Nino dengan tulisan ‘Terima Kasih’. Nino terheran.
“Dinda tidak mau menjawab maafmu bukan karena dia tidak mau memaafkan kamu, tapi karena Dinda tidak pernah marah padamu. Dinda berterima kasih padamu, karena dia memiliki teman sebaik kamu” jelas Rahma, salah satu teman Dinda. Seketika senyum Nino mengembang. Dinda benar-benar gadis yang baik.
“Alhamdulillah, makasih banyak ya Dinda ! Oh iya Din, ini nomor ponsel aku, kalau kamu sudah di Cairo, sms aku ya ? Kamu hati-hati ya, Din” ucap Nino seraya menyerahkan selembar kartu namanya.
“Cairo ??!!” teman-teman Dinda yaitu Rahma, Nurul, dan Fatima terkejut dan saling berpandangan. Begitu pula Dinda yang langsung mengerutkan dahi.
“Siapa yang mau ke Cairo ?” Nurul terheran.
“Lho bukannya hari ini Dinda mau pindah sekolah ke Cairo ?” jawab Nino. Rahma, Nurul dan Fatima kembali saling pandang dan seketika tertawa. Dinda pun mengulum senyum.
“Ya ampun Nino, Dinda memang mau pindah ke Cairo, tapi itu tahun depan setelah lulus MA, baru Dinda akan melanjutkan kuliah disana. Kalau sekarang, Dinda mau pulang ke Malang dulu, Ibunya sedang sakit” jelas Fatima sambil menahan tawa.
“Sudah ya, kami mau mengantar Dinda ke stasiun dulu. Assalamualaikum” ucap Nurul kemudian.
“Wa-a-la-i-kum-sa-lam” Nino menjawab terbata kemudian terdiam. Membatu. Lega sekaligus malu. Akhirnya ia hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Terlihat dari kejauhan Ustadz Idris dan Furqon sedang tertawa. Nino mencibir. Furqon, awas kau ya ! Nino mengepalkan tangannya.
Namun Nino bersyukur, ia telah mendapatkan banyak hal disini. Belajar, berteman, sungguh harta yang tak ternilai harganya. Nino telah menyadari betapa berharganya hidup yang telah Allah berikan. Dan Nino bersyukur ia masih diberi kesempatan untuk merasakan nikmat-Nya yang begitu melimpah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar