Cerpen Persahabatan – Sayap Pelindung
Udara dingin berhembus sepoi-sepoi memberikan kedinginan yang menusuk jantungku. Kabut tebal masih setia menyelimuti bumi. Aku bangkit dari dunia mimpi. Ku tatap lekat-lekat jam dinding yang masih setia selama tiga tahun di Pesantren Al Ikhlas. Ku kucek-kucek kedua mataku yang masih buram. Jarum menunjuk angka tiga dan dua belas. Ku paksakan tubuh yang masih lemas untuk berjalan mengambil air suci. Segar dan dingin bercampur menjadi satu di kala air suci itu menyentuh permukaan kulit ini. Ku langkahkan kaki untuk mengambil mukena yang tertata rapi di almari. Aku berjalan menuju musala yang berada di lantai atas. Ada semilir angin yang memasuki relung hatiku ketika ku langkahkan kaki ini ke dalam musala. Ku menangis dalam sujud panjangku dan aku terbuai dalam kehangatan cinta-Mu.
“Ya Allah.. Kenapa kau memberikanku cobaan berat seperti ini. Aku lelah Tuhan.”
“Assalamualaikum Li,” Ku hapus air mataku dan ku cari asal suara itu. Ku temukan sosokmu, sahabatku Rahma.
“Waalaikumsalam.”
“Assalamualaikum Li,” Ku hapus air mataku dan ku cari asal suara itu. Ku temukan sosokmu, sahabatku Rahma.
“Waalaikumsalam.”
Aku yang tengah berada dalam kegelapan dan kegundahan hati. Rahma mendekatiku dan mencoba untuk menenangkanku. “Sabarlah, dunia ini memang penuh dengan cobaan. Tak seharusnya kau lari dari cobaan tersebut. Tapi kau harus menghadapinya dengan berani. Memang hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Hasrat dan keinginan itu buta jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan itu tidak mudah diraih. Banyak cobaan dan pengorbanan. Dan inilah pengorbanan kita, percayalah! Semua akan indah pada waktunya, jangan menyerah.” ucapnya padaku.
—
Sejak dokter mendiagnosa aku terkena leukimia dan penyakit ini menyebabkan kematian, hidupku tidak bersemangat lagi. Pikiran pikiran buruk itu terus saja menghantuiku, keputusasaan kerap sekali menyapaku. Aku tak menyangka akan mendapat ujian hidup yang sangat berat. Kehidupan yang semula begitu menyenangkan, tiba-tiba menjadi suram, direnggut oleh penyakit, aku sangat terpukul mendengarnya. Apalagi saat secara bertahap fungsi-fungsi organ vitalnya mulai terganggu.
“Tuhan, tolong ambil nyawaku. Aku tak tahan lagi.. Kenapa Engkau berikan ujian seberat ini padaku?” ucapku marah kepada Tuhan. “Tuhan kenapa memilihku untuk mengalami cobaan seperti ini? Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain yang selama ini sudah cukup kenyang mendapat keberuntungan dalam hidupnya? Aku merasa Tuhan tidak adil padaku.” aku menangis terisak isak dengan keadaanku yang seperti ini.
“Li, nggak terasa ya tiga tahun sudah kita di sini. Rasanya baru kemarin deh aku ngisi formulir pendaftaran dan nangis karena kangen rumah. Sekarang kita udah punya adik kelas.” tuturnya. “Iya,” jawabku singkat. Aku berusaha menyeka air mataku. Entah dari mana dia datang, seolah membuntutiku saja. “Kamu kenapa Lili?” ucapnya sambil memandang wajahku yang basah terkena tetesan air mata.
“Bosan hidup,” jawabku cuek.
“Jangan begitu, khusnudzon aja Li.. Sakit itu tanda kasih sayang dari Allah.” ucap Rahma dengan lembut.
“Kasih sayang apa hah? Dengan kasih penyakit menurutmu? Kamu salah! Allah gak sayang sama aku!” emosiku kian memuncak. “Bu..bukan begitu.. Allah ngasih kamu sakit karena Allah rindu padamu Dia ingin kau selalu menyebut-nyebutnya. Ketahuilah Allah akan menghapus dosa-dosamu dengan caraNya.”
“Bosan hidup,” jawabku cuek.
“Jangan begitu, khusnudzon aja Li.. Sakit itu tanda kasih sayang dari Allah.” ucap Rahma dengan lembut.
“Kasih sayang apa hah? Dengan kasih penyakit menurutmu? Kamu salah! Allah gak sayang sama aku!” emosiku kian memuncak. “Bu..bukan begitu.. Allah ngasih kamu sakit karena Allah rindu padamu Dia ingin kau selalu menyebut-nyebutnya. Ketahuilah Allah akan menghapus dosa-dosamu dengan caraNya.”
Aku diam mencermati kata yang terucap yang mengalir indah dari bibir mungilnya itu. Rahma tersenyum kemudian melanjutkan ucapannya lagi. “Nabi Ayyub aja dia tetap sabar dikasih cobaan yang beratnya masya Allah gitu. Kamu harus begitu dong..”cetolehnya memberikan nasihat untukku.
“Tapi kan dia nabi jelas aja dia sabar, bedalah sama aku!” jawabku ketus.
“Apa salahnya jika kita meniru nabi? Lagian juga Allah akan mengangkat derajat orang yang sabar jika di kasih penyakit.. Bukan begitu?” sambil menatapku kemudian melanjutkan ucapannya lagi.
“Tapi kan dia nabi jelas aja dia sabar, bedalah sama aku!” jawabku ketus.
“Apa salahnya jika kita meniru nabi? Lagian juga Allah akan mengangkat derajat orang yang sabar jika di kasih penyakit.. Bukan begitu?” sambil menatapku kemudian melanjutkan ucapannya lagi.
“Sakit itu jembatan untuk menuju kemuliaan asal orang yang sakit itu ikhlas. Bagaimana orang itu bisa ikhlas? Yang terutama, orang harus berprasangka baik kepada Allah, bersyukur, introspeksi diri dan pasrah. Udah ah jangan putus asa gitu.. Allah gak suka loh. Mulai sekarang kamu harus semangat oke?” Rahma tersenyum kepadaku sambil mengacungkan jari kelingkingnya sebagai bukti perjanjian kita. “Hmm.. Janji..” aku tersenyum kemudian menempelkan jari kelingkingku untuk membalasnya.
“Kamu juga janji ya untuk jadi sahabatku selamanya Rahma,”
“Oke baiklah.”
“Kamu juga janji ya untuk jadi sahabatku selamanya Rahma,”
“Oke baiklah.”
—
“Rahma..” aku berteriak memanggilnya yang sedang melamun di aula. Dia menoleh kemudian berlari meninggalkanku. Larinya sangat cepat hingga aku kesusahan untuk mengejarnya dan berhasil, tangannya berhasil aku raihnya.
“Rahma.. Tunggu!” aku berhentikan langkahku sambil mengatur napasku yang tidak teratur, ngos-ngosan setelah berlari. “Lepaskan! Jangan sentuh aku!” Rahma terkejut mendapati tangannya dipegang olehku kemudian dia berlari sambil menangis. Entah kenapa Rahma berubah menjauh dariku semenjak kepulangannya dari rumah seolah dia ingin menjauhiku. Semua terasa semu aku seperti berdiri di atas tumpukkan duri beracun. Tak mampu berlari ke tempat yang lantang. Hanya mampu menanti suatu keajaiban tentang apa yang tengah terjadi, ya apa terjadi pada sahabatku ini.
“Rahma.. Tunggu!” aku berhentikan langkahku sambil mengatur napasku yang tidak teratur, ngos-ngosan setelah berlari. “Lepaskan! Jangan sentuh aku!” Rahma terkejut mendapati tangannya dipegang olehku kemudian dia berlari sambil menangis. Entah kenapa Rahma berubah menjauh dariku semenjak kepulangannya dari rumah seolah dia ingin menjauhiku. Semua terasa semu aku seperti berdiri di atas tumpukkan duri beracun. Tak mampu berlari ke tempat yang lantang. Hanya mampu menanti suatu keajaiban tentang apa yang tengah terjadi, ya apa terjadi pada sahabatku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar