Aku tak pernah menyesali suratan takdir. Karena aku percaya Tuhan selalu memberi yang terbaik untukku. Termasuk takdirku menikah di usia dini. Di saat teman-teman sebayaku menikmati indahnya masa remaja.
Memang sejak kecil pun aku tidak pernah punya keinginan yang muluk-muluk. Aku cuma ingin belajar dan belajar. Tidak lebih dari itu. Tidak seperti anak-anak lain yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk bermain. Keinginanku sederhana: berprestasi di sekolah dan menjadi kebanggan ibu dan ayah. Begitu fokusnya aku sehingga tidak pernah menikmati sisi lain dunia kanak-kanak sampai remaja. Pulang sekolah aku tidur. Siang ke sekolah agama dan malam mempersiapkan pelajaran besoknya. Begitu setiap hari sampai menginjak usia remaja.
Ketika masuk sekolah menengah, teman-temanku banyak yang mulai berubah. Kata orang mereka memasuki dunia pubertas. Yang cewek jadi genit dan suka gosipin cowok. Syukurlah aku sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Ditambah lagi dengan nasehat-nasehat ibu yang selalu mengingatkan aku tentang pentingnya menjaga diri. Ibu pernah bilang, perempuan itu seperti telur yang bila jatuh sekali maka akan pecah selamanya.
Ketika itu aku belum mampu mencerna maksud nasehat ibuku itu. Tapi seperti biasa aku akan selalu menyimpan nasehat-nasehat ibu dan selalu berusaha menjadi anak yang baik kebanggan kedua orang tuaku. Dan itu benar-benar kubuktikan. Semester demi semester kulewati dan akulah sang juara kelas itu. Selain juara kelas aku juga kebanggaan guru-guruku. Aku sering mengharumkan nama sekolah lewat sederet juara yang kudapat dari lomba cerdas cermat, lomba mengarang, lomba pidato dan baca puisi antar sekolah.
“Din, apa kamu tak ada keinginan dicintai dan mencintai?” Tanya Murni kawanku suatu ketika dengan gaya kocak.
“Maksudmu?” tanyaku balik.
“Ya, pacaran gitu deh? Kayak yang lain-lain? Kulihat ketua OSIS kita perhatian banget sama elo, sepertinya dia cinta sama elo Din.” Cerocos Murni.
“Ah elo, gituan aja sih yang dipikirin. Kagak! Gua kagak mau pacar-pacaran. Kalau mau cinta-cintaan nanti sekalian habis nikah,” kataku tegas.
“Ya elo, itu kan nikah bukan pacaran. Lagian kita kan masih kecil, masa harus nikah sekarang sih. Nah, karena kita masih kecil, cinta-cintaannya lewat pacar-pacaran” balasnya sok bijak.
“Otak elo tuh ya, kok ikut-ikutan orang aja. Masa remaja itu harusnya diisi dengan belajar sebanyak-banyaknya tau, bukan pacar-pacaran,” kubalas dengan gaya yang tak kalah bijak.
“Ya belajar lagi, payah deh ngomong sama elo. Dikit-dikit belajar. Belajar aja sih yang lo tau. Apa salahnya belajar sambil pacaran. Kan bisa asyik tuh. Kata orang pacaran juga bisa meningkatkan prestasi loh,” kata Murni dengan gaya konyol.
“Ah, sudah.. sudah… yang itu gak usah dibahas lagi. Malas gua,” kataku kesal.
“Ah elo…” balasnya sambil mendelikkan mata ikutan kesal.
Begitulah, hampir semua anak-anak kelas satu, dua dan tiga di sekolahku pernah pacaran. Biasanya usia percintaan mereka jarang yang bertahan lama. Paling lama juga satu semester, habis itu putus. Semester depan ganti gandengan lain. Begitu seterusnya. Aku suka geli hati memperhatikan tingkah mereka.
Ikut-ikutan punya pacar? No, untuk ini keputasanku sudah bulat. Aku tak akan ikut-ikutan. Dan juga tak akan terpengaruh, bahkan oleh cinta sang ketua OSIS sekalipun yang menjadi rebutan cewek-cewek satu sekolah. Aku tak bergeming.
Mungkin aku memang ditakdirkan untuk lurus-lurus saja.
Minatku sama sekali berbeda dengan teman-temanku pada umumnya. Kalau mereka gampang terpengaruh dengan gaya orang sekarang, maka aku sama sekali tidak. Mereka suka memamerkan barang-barang mahal dan bermerek, aku malah gak ngerti barang bermerek. Teman-temanku suka dengan novel dan majalah remaja, aku malah senang banget dengan kisah-kisah Nabi, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Kalau idola mereka artis-artis remaja, aku malah kagum sama Bilal yang keren banget dengan keberaniannya menerima penyiksaan orang kafir demi mempertahankan tauhidnya. Senang ke mall? Aku tidak banget deh, mending di perpustakaan yang ber-AC, bisa asyik tuh baca buku seharian dengan nyaman.
Tapi aku memang ditakdirkan beda dengan kebanyakan temanku.
Suatu hari tanpa sengaja aku mendengar perbincangan kedua orang tuaku. Sepertinya mereka sedang membicarakan aku. Tapi kenapa topiknya soal pernikahan ya? Siapa yang akan menikah? Tanteku, semuanya sudah menikah? Apa sepupuku? Tapi kenapa ibu dan ayah yang sibuk membahasnya? Tak mungkin mereka akan seserius itu membahas soal pernikahan orang lain. Tapi siapa? Aku anak ibu dan ayah yang paling besar. Apa mungkin benar aku? Tapi aku baru saja memasuki usia 15 tahun, baru akan tamat SMP. Pikiran itu sempat menggangguku beberapa hari. Aku juga tidak berani menanyakannya langsung ke orang tuaku. Karena mungkin saja aku salah. Hingga…
“Din, sini duduk dekat ibu dan ayah,” panggil ibuku, ketika itu kami baru saja makan malam.
“Iya, ada apa bu?” tanyaku sambil duduk di samping ibu.
“Hmm…” kata-kata ibuku menggantung sampai di situ. Ibu kelihatan ragu, lantas menatap ke arah ayah. Pandanganku ikut beralih ke ayah.
“Hmm…, begini Din, insya Allah sebentar lagi kamu tamat SMP kan? Ayah dan Ibu berencana.., ” kata-kata Ayah pun berhenti sampai di situ.
“Ada apa sih Yah? Kok serius sekali kelihatannya?” kataku sambil menatap bingung keduanya.
“Begini Din, ibu dan ayah berencana mengenalkan kamu dengan seseorang,”
“Iya? Tapi kok ayah dan ibu seserius ini? Memangnya dia itu siapa bu?”
“Dia itu anak sahabat ayah. Itu loh sahabat ayah dulu di pesantren, Om Lukman. Putranya yang pertama baru saja selesai S1 dari Kairo.” Ayah yang menjawab.
“Dia itu anaknya baik dan pinter loh Din,” lanjut ibu.
“Terus apa hubungannya dengan Dini bu? Dini kan masih kecil gak sepanteran dia, buat apa Dini kenalan sama dia?” tanyaku kebingungan.
“Begini Din, Om Lukman dengan ayah ingin menjodohkan kalian,” kata ibu hati-hati.
“Jodoh? Tapi Dini kan masih kecil bu?” tanyaku perih, tiba-tiba ada yang sakit di ulu hatiku, sakit yang tidak kumengerti.
“Ibu juga dulu waktu menikah dengan ayahmu masih sekecil kamu kok Din,” kata ibu lembut. Ayah diam saja menatap kami bergantian.
“Tapi itu dulu bu…,” air mataku mulai jatuh.
“Apa bedanya sayang?”
Sekali lagi aku akur dengan takdir.
Aku pada akhirnya tidak mampu menolak keinginan orang tuaku. Karena kupikir tidak ada yang salah dari alasan mereka menikahkanku dengan bang Awal, pria ganteng yang baik hati dan sangat lembut. Kecuali karena usiaku masih sangat belia ketika itu, yang lain tidak masalah.
Takdir kemudian mengantarkan aku ke atas pelaminan. Mulanya sangat berat. Menjadi istri diusiaku yang masih sangat muda sungguh tidak mudah. Tapi Awal suamiku yang penyabar mampu merubah kesukaran itu menjadi sesuatu yang sungguh indah. Kebaikan dan kasih sayangnya membuat perasaanku segera terjerembab jatuh cinta kepadanya. Untuk pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta dan dunia begitu indah buatku.
“Bang, cinta itu ternyata sangat indah ya…,”
“Cinta yang diridhoi dek, sudah pasti indah. ”
“Aku ingin mati dalam cinta yang indah ini bang…”
“Insya Allah dek, cinta kita abadi.”
Begitulah cinta kami, sederhana tapi sungguh indah. Tak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Sungguh aku tidak menyesal menghabiskan masa remajaku merajut cinta bersamanya. Karena cinta yang dicucuri rahmat-Nya dalam bingkai pernikahan jauh lebih indah dari cinta masa remaja dalam angan kebanyakan orang. Tapi sungguh tidak banyak yang tahu. Hanya mereka yang mengalami cinta sepertiku yang mengerti perasaan kami.
“Pak Harun tega banget deh, anak masih ingusan begitu sudah dikawinkan.”
“Kasian sekali Dini, kecil-kecil sudah jadi emak-emak.”
Mereka yang tidak tahu memang akan jatuh iba melihatku menjadi ibu diusiaku ketika itu. Tapi aku dan suamiku menjalani hari-hari kami dengan bahagia. Kebahagian kami bertambah lengkap ketika anak pertama, buah cinta kami lahir. Pun dengan kelahiran anak kedua kami ditahun berikutnya. Anak ketiga ditahun berikutnya lagi dan menyusul anak kami yang keempat satu tahun setelah yang ketiga.
Allah jua yang mentakdirkan aku melahirkan anak setahun satu.
Apa aku keberatan? Tentu sekali tidak! Karena cinta yang kuterima pun semakin besar. Bang Awal bertambah sayang kepadaku. Dan dia, pujaan hatiku selalu mampu merubah kesukaran menjadi sesuatu yang indah. Aku selalu terbuai dalam kasihnya hingga yang berat jadi ringan, yang sulit jadi mudah dan yang gelap jadi terang penuh warna seindah pelangi.
Allah…
Sungguh aku ridho dengan takdir-Mu ke atasku. Kelahiran putri kelimaku diusia pernikahan kami yang masih muda menjadi akhir dari percintaan kami. Aku mengalami pendarahan hebat beberapa jam setelah  melahirkan. Kata dokter, rahimku yang masih muda sudah sangat tipis. Nyawaku tidak tertolong. Kulihat pria terkasih itu tak sadarkan diri di dekat jasadku yang beku. Dan aku ridho, karena, kata-kataku dulu kini terkabul, “aku ingin mati dalam cinta yang indah ini bang…“