Social Icons

Pages

Minggu, 12 Februari 2017

AKU MENCINTAIMU


Karya : Muhammad Al-Farabi

“Lari cepet! Lari! Ngga ngerasa ditunggu?”
Bentakku dengan suara yang lantang dan keras. Anak-anak dengan pakaian yang serba aneh berlari berhamburan tak karuan. Suara kerincingan dari sepatu calon peserta didik baru mendominasi suasana pagi yang masih gelap dan diselimuti kabut yang cukup tebal.
Ya, perkenalkan namaku Hamish Sabian. Aku seorang senior OSIS tingkat 2 di salah satu SMK di Jogjakarta. Aku tidak merasa istimewa, aku hanya siswa sederhana yang mengikuti banyak kegiatan di sekolah untuk mencari banyak teman.
Bersama dua sahabatku Faril Ramadhan dan Christian Bakti Perdana, aku menjalani kegiatan di sekolah dengan senang hati. Salah satunya menjadi seorang pengurus OSIS. Masa Orientasi Siswa atau MOS memang menjadi ajang yang paling ditunggu tunggu oleh senior OSIS tingkat 2 dan 3. Dengan kegiatan ini kami bebas memarahi, mengerjai, maupun menghukum adik kelas sesuka hati kami haha.
Dari kejauhan terdengar suara rintihan dari dekat gerbang masuk. “Aduh.. Kakiku sakit!” Tanpa berpikir panjang aku menuju ke sumber suara. Remang remang ku lihat seorang gadis dengan rambut bergelombang merintih kesakitan. Memang keadaan belum terlihat jelas karena mereka diwajibkan berangkat pukul 4 pagi.
“Hei, kamu! Kenapa kamu berteriak teriak? Tidak Merasa ditunggu ya?!” Bentakku.
“Maaf kak, kaki saya terkilir karena terburu buru saat lari.” Balasnya dengan suara gemetar.
“Baiklah. Cepat kamu susul teman temanmu yang sudah berbaris di lapangan!”
“Baik kak. Terimakasih.”
Gadis itu buru-buru membereskan atributnya yang berceceran akibat terjatuh. Mungkin karena ketakutan dia langsung berlari tanpa memperhatikan kalau ada atribut yang tertinggal.
“Hei kamu! Atributmu ada yang tertinggal!” Teriakku dengan lantang.
Namun karena sudah terlampau jauh, mungkin dia tidak mendengar suara teriakanku. Sekilas kulihat papan namanya, disitu tertulis jelas namanya. Dia bernama Vania Agatha. Papan namanya yang berwarna biru menunjukkan bahwa dia masuk jurusan yang sama denganku.
Aku segera pergi ke lapangan untuk mengumumkan papan nama milik siswi yang bernama Vania itu. Begitu ku panggil namanya, dia maju ke depan dengan kepala yang sedikit ditundukkan. Sepertinya dia masih takut akibat kubentak tadi pagi. Setelah mengambil papan miliknya dia kembali ke barisannya.
Seharian itu kami habiskan untuk memarahi dan mancari-cari kesalahan para siswa baru. Bentakkan tak henti hentinya dilontarkan oleh Adry yang merupakan ketua OSIS di sekolahku.
“15 menit untuk makan itu kurang? Iya?!” Bentak Adry sambil melotot.
“Tidak kak.” Jawab mereka dengan suara yang lirih dan lemas.
“Lalu kenapa masih ada yang terlambat berkumpul? Sekarang ambil konsekuensi 125 kali push up! Laksanakan!” Perintah Adry.
Dibawah teriknya sinar matarhari mereka dengan sigap melaksanakan instruksi dari Adry tersebut. Sebagian siswa mulai pingsan dan dibawa oleh PMR ke UKS untuk beristirahat.
Sejak tadi kupandangi Vania yang entah kenapa membuatku begitu penasaran terhadapnya. Tak berselang lama Vania juga terjatuh pingsan. Aku berlari mendekatinya. Di saat yang bersamaan PMR juga berdatangan, namun aku menyuruh mereka untuk kembali.
Aku mengangkat tubuhnya dan dengan segera ku bawa ke UKS. Kubaringkan dia sambil ku kipasi agar dia cepat siuman. Kutatap wajahnya yang pucat pasi karena pingsan. Aku menatapnya dengan begitu dalam, dan dapat ku rasakan ada sesuatu yang membuatku tertarik dengannya.Karena sudah banyak PMR yang bertugas menjaga, kutinggalkan Vania yang masih pingsan dan kuputuskan untuk kembali ke lapangan.
Saat acara sudah selesai, aku menyempatkan diri untuk melihat keadaan Vania di UKS. Dari kejauhan terlihat dia sedang berbicara dengan anggota PMR yang bertugas. Aku putuskan untuk menghampiri dan memastikan bahwa keadaannya sudah membaik.
“Hai!” Sapaku.
“Hai juga kak.” Balasnya dengan suara yang gemetar begitu melihatku mendekat.
“Kamu ngga usah takut, aku ngga bakalan gigit kamu kok. Kenalin aku Hamish anak kelas 2, satu jurusan sama kamu.” Kulontarkan gurauan untuk mencairkan suasana.
“Iya. Kenalin juga, namaku..”
“Vania kan?” Sahutku memotong omongannya.
“Kok kakak bisa tau?” Dia keheranan.
“Kan aku yang nemuin papan nama kamu.”
“Oh iya, aku lupa kak maaf.” Balasnya sambil tersenyum.
Seketika ku lihat sedikit senyuman di bibirnya yang masih pucat itu. Aku memulai pembicaraanku dengannya. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari sekolah sampai masalah percintaan. Begitu mengetahui kalau dia sudah punya pacar, aku sedikit merasa kecewa. Namun hal itu tidak menghalangiku untuk terus berjuang mendapatkan cintanya.
Hari sudah semakin sore, sekolah sudah mulai sepi. Hujan mulai jatuh membasahi sekolahku yang luasnya berhektar hektar ini. Benar benar sore yang dingin. Kuputuskan untuk mengajak Vania pulang bersamaku. Kebetulan kami sama pulang dengan naik angkutan umum. Kulihat dia menggigil karena hujan yang sangat deras, ditambah angin yang bertiup sangat kencang.
“Kamu ngga bawa payung apa jaket?” Tanyaku.
“Ngga kak. Tas karungnya ngga cukup.” Dia membalas dengan suara penuh sesal.
“Ini pakai aja jaketku. Kamu lebih butuh dari pada aku. Nih!” Sambil mengulurkan jaketku.
“Ngga kak, ngga usah. Kakak aja yang pakai. Kan cuacanya lagi dingin banget.” Dia menolak dengan halus.
“Udah pakai aja. Aku ngga kedinginan kok. Pakai ya!”
“Iya deh kak. Makasih ya kak!”
Kubalas ucapan terimakasihnya dengan senyum. Begitu hujan sudah mulai reda, kami memutuskan untuk segera menunggu angkutan umum di depan sekolah. Terlihat sebuah angkutan berwarna hijau mendekat dan berhenti di depan kami. Aku mengajaknya naik.
“Yuk naik! Kamu naik duluan!”
“Iya kak. Duduk sebelah situ aja ya kak, biar gampang keluarnya”
“Iya deh. Aku ngikut aja.”
Angkutan umum yang kami tumpangi mulai berjalan. Kami menikmati perjalanan sambil melihat suasana kota menjelang malam. Tanpa kusadari Vania sudah tertidur pulas dengan kepala tertunduk. Kusandarkan kepalanya di bahuku agar lehernya tidak sakit saat terbangun. Aku terkejut karena tiba tiba tangan Vania memelukku dengan erat. Kulihat dia menggigil kedinginan, maka ku putuskan untuk menunggunya sampai dia terbangun.
“Eh kak maaf. Aku ngga tau kenapa tadi bisa meluk kakak gitu.”
“Haha sante aja lagi. Oh iya, ngomong ngomong rumah kamu mana?”
“Rumahku di daerah Losari, udah hampir sampe kok kak. Kalau kakak?”
“Rumahku daerah Bandar, udah kelewatan sih hehe.”
“Ih, maaf kak. Gara gara aku kakak jadi kebablasan deh!”
“Nggapapa kok, aku turun sini aja ya. Jaketku bawa dulu aja.”
“Iya kak. Hati hati ya.”
Kulontarkan senyuman kepadanya. Aku melangkahkan kakiku keluar dari angkutan umum. Aku menunggu angkutan umum untuk berbalik arah. Sesampainya di rumah aku baru ingat kalau aku lupa untuk meminta nomor hp nya. Sial!
Malam itu kuputuskan untuk menelfon Chrsitian untuk menceritakan apa yang kualami hari ini. Aku ceritakan semua yang kualami tadi bersama Vania.
“Yang bener kamu? Gila aja, baru hari pertama MOS udah dapat gebetan.” Ledeknya.
“Biarin. Mungkin ini kali ya, yang namanya love in the first sight?”
“Alay ah kamu. Tapi bisa juga sih.”
“Kamu ngatain alay tapi akhirnya setuju juga.”
“Ya mau gimana lagi Ham. Terus rencana kamu berikutnya apa?”
“Ngga tau, dia udah punya pacar sih. Terus aku harus gimana?”
“Ya dipejuangin dong. Good luck ya!”
“Eh tapi Chris..”
Ya, bagus, telfonnya diputus sama Christian. Aku jadi galau semalaman. Berkali kali kuputar lagunya RAN yang judulnya Pandangan Pertama. Sampai sampai yang awalnya ngga hafal lagunya, jadi halfal banget. Aku nyanyi nyanyi ngga karuan di dalam kamar.
“Kurasa ku telah jatuh cinta pada pandangan yang pertama..”
Berkali kali kuputar lagunya hingga aku merasa bosan dan tak sanggup lagi untuk membuka mataku. Akhirnya kumatikan lagunya dan mulai membaringkan badan untuk tidur.
“Kringgggg...”
Alarm dari hp ku membangunkanku dari tidur yang sangat singkat ini. Aku masih sangat lelah dan ngantuk untuk mejalani MOS hari kedua ini. Kulihat hp ku, jam menunjukkan pukul 3 pagi. Aku segera mandi dan bergegas berangkat agar tidak keduluan oleh siswa baru.
Sesampainya di sekolah aku bertemu dengan Christian dan Faril yang sedang berjaga di dekat gerbang masuk. Banyak sekali siswa yang berlari memasuki gerbang karena takut terlambat. Seperti biasa aku menyapa mereka berdua.
“Pagi bro!”
“Pagi juga bro!” Jawab Christian dan Faril.
“Aku pengen curhat nih sama kalian berdua.”
“Kebatulan aku juga lagi pengen cerita sama kalian.” Balas Faril sambil cengar cengir.
“Yaudah kamu duluan aja Ril yang cerita!”
“Gue lagi suka sama cewek nih!”
“Siapa Ril? Anak kelas 1? Jurusan apa?” Tanya Christian dengan penuh keheranan.
“Iya Ril siapa? Jangan bikin penasaran dong!” Aku menambahkan.
Faril tertawa sambil sesekali memasang raut wajah yang membuat kami semakin penasaran. Memang sudah lama kami tidak membicarakan hal yang berhubungan dengan urusan cinta. Makanya pembicaraan kali ini terasa sangat mengasyikkan.
“Tapi kalau aku ngasih tau, kalian jangan bilang ke siapa siapa ya?”
“Iya deh. Aku sama Hamish janji.”
“Aku suka sama anak kelas 1, satu jurusan tuh sama Hamish.”
“Siapa namanya?” Balasku dengan penuh rasa penasaran.
“Namanya Vania, dia dulu adik kelas aku di SMP”
Perasaanku seketika tak karuan. Sedih, kecewa, marah semua jadi satu. Aku sampai sampai sulit untuk berkata kata. Ternyata sahabatku, suka dengan orang yang sama denganku. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan jika keadaan berkata demikian. Seketika aku dilema. Apakah aku harus tetap memperjuangkan cintaku untuk Vania, apa aku harus mundur untuk sahabatku sendiri. Tapi, bukankah Vania sudah memiliki kekasih. Apa Faril benar benar tidak tau tentang hal itu.
“Gila kamu Ril!” Bentak Chrsitian.
“Loh? Gila kenapa?”
“Gila, cewek yang kamu taksir canti banget. Iya kan Chris?”
Aku memotong pembicaraan mereka, aku takut kalau Christian akan membelaku dan menyalahkan Faril. Aku memilih mengalah untuk sahabatku. Apa salahnya ku korbankan perasaanku untuk sahabatku sendiri. Seketika kutarik tangan Christian masuk ke dalam sekolah.
“Kenapa kamu malah ngajak aku ke sini? Aku harus ngasih tau Faril yang sebenarnya!”
“Udah Chris. Aku milih ngalah aja. Aku ngga mau persahabatan kita rusak Cuma gara gara cewek.”
“Tapi..”
“Udah Chris. Aku aja udah ikhlas kok. Aku yakin ini yang terbaik buat aku.”
“Yaudah deh Ham. Aku doain yang terbaik buat kamu.”
“Thanks ya Chris. Oh iya tolong rahasiain tentang perasaan aku sama Vania ya. Aku ngga mau ada orang yang tau, apalagi Faril.”
“Oke Ham. Pastinya.”
Hari itu kami jalani seperti hari sebelumnya, memarahi, mengerjai, dan menguhukum siswa baru dengan berbagai alasan. Hanya saja pada hari itu ada jadwal kunjungan industri untuk para siswa baru. Entah kebetulan atau disengaja, aku mendapatkan bagian untuk menjadi pengawas di bus milik kelas Vania. Aku bingung harus merasa senang atau sedih, karena aku harus dihadapkan dengan Vania yang ternyata juga dicintai sahabatku sendiri.
Dari kejuhan kulihat Faril bertanya taya kepada rekan rekanku OSIS. Dan akhirnya dia menuju ke arahku.
“Eh Ham, kamu yang ngawasin di busnya Vania kan?”
“Iya Ril, kenapa emang?”
“Boleh tukeran ngga? Aku pengen jadi pengawas di busnya Vania”
“Boleh kok Ril, ini daftar absennya.”
“Makasih banyak ya Ham.”
Kulontarkan senyum kepadanya untuk menutupi kesedihan yang sebenarnya aku rasakan. Aku merasa tidak sanggup untuk menutupi rasa sakit hatiku. Tapi di sisi lain aku juga harus menjaga perasaan Faril, sahabatku sendiri.
Semua siswa baru diinstrusikan untuk segera memasuki bus agar jadwal acara yang sudah kami buat tidak molor. Kulihat Faril sangat bahagia membimbing para siwa baru untuk masuk bus. Sebuah pemandangan yang sangat berbeda dengan keadaanku saat ini. Iya, aku sangat menginginkan berada di posisi Faril saat ini. Aku ingin melihat Vania, aku ingin bersamanya. Tapi apa yang bisa aku lakukan dengan keadaanku seperti ini, aku hanya bisa diam dan mencoba untuk ikhlas.
Hari itu kami habiskan berkeliling pabrik makanan yang kami kunjungi. Seharian kami di sana sudah banyak anak kelas 1 yang pingsan karena keadaan di dalam pabrik memang sangat pengap. Jam menunjukkan pukul setengah 3 sore. Kami segera kembali ke sekolah agar para siswa tidak pulang terlalu malam.
Aku tidak berniat mengajak Vania untuk pulang bersama sore itu, karena aku ingin menjaga perasaan Faril. Dan benar sekali dugaanku, Faril mengajak Vania untuk pulang bersama. Tapi, entah mengapa Vania meolaknya. Ada sedikit rasa gembira dalam hatiku. Vania segera menuju ke basecamp OSIS untuk mencariku.
“Kak, pulang bareng yuk!”
“Loh, kata Christian kamu dianter sama Faril?”
“Engga kok. Kak Faril tadi emang ngajak bareng, tapi aku ngga mau hehe.”
“Aduh, tapi aku ngga bisa Van. Aku mau ke rumah Christian dulu ngambil titipan tugas. Maaf ya!”
“Iya kak ngga papa kok. Yaudah aku pulang duluan ya!”
“Iya Van, hati  hati ya!”
Aku terpaksa harus menolak ajakan Vania untuk pulang bersama. Aku harus berbohong pada diriku sendiri yang membuat rasa sakit kembali aku rasakan. Tidak lama kulihat Vania pulang bersama Faril. Ada rasa senang bercampur sedih karena Vania tidak jadi pulang bersamaku. Hal itu membuatku semakin merasa sakit hati. Sampai kapan harus kututupi perasaanku pada Vania.
MOS pun akhirnya berakhir. Aku kembali ke aktivitasku semula. Aku putuskan untuk semakin menjauh dari Vania. Tiap kali dia menyapaku, aku membuang muka darinya. Tiap kali berpapasan aku memilih berbalik arah atau pura2 tidak melihat. Semua itu ku lakukkan untung menghilangkan perasaanku padanya. Tapi entah mengapa, semakin aku mencoba menjauh, rasa sakit itu semakin terasa.
Sudah berjalan 5 bulan, namun perasaanku masih saja untuk Vania. Aku sudah bingung, harus dengan cara apa melupakannya. Padahal Vania pun sudah putus dengan pacarnya sekitar satu bulan yang lalu. Hari itu tepatnya hari Senin sepulang sekolah aku membuka facebook karena sudah satu minggu aku belum online. Seperti biasa, aku ngestalk timeline facebook milik Vania. Betapa terkejutnya aku, karena disitu tertulis jelas Vania Agatha berpacaran dengan Faril Ramadhan. Hatiku benar benar hancur kali ini. Rasanya aku ingin berteriak untuk meluapkan semua emosi yang terpendam selama berbulan bulan ini. Kuputuskan untuk menelfon Faril, akan kuucapkan selamat atas hubungannya dengan Vania.
“Hallo Ril.”
“Iya Ham, ada apa? Tumben nelfon hehe.”
“Hehe ngga papa kok. Cuma mau ngucapin selamat aja.”
“Selamat buat apa?”
“Kan kamu habis jadian sama Vania?”
“Hehe udah 5 hari yang lalu kok.”
“Aku tunggu pajak jadiannya ya!”
“Haha siap bos!”
Aku mencoba untuk menguatkan hatiku. Kali ini aku benar benar rapuh, seperti kumbang tanpa sayap yang mencoba untuk terbang kembali.
Sore itu bertepatan dengan malam Natal aku yang sedang jalan jalan di pusat kota bertemu dengan Vania yang sedang berbelanja kebutuhan Natal. Sudah lama sekali aku tidak berbicara dengannya. Kusempatkan sebentar saja untuk menemaninya berbelanja. Karena hari semakin larut dia berpamitan untuk segera pulang. Dari kejauhan kupastikan bahwa dia mendapatkan angkutan umum untuk pulang.
Sangat lama aku menunggu Vania yang belum mendapatkan angkutan umum. Tapi kenapa dia tidak meminta Faril untuk menjemputnya saja, tanyaku dalam hati. Tiba tiba dari kejauhan mucul sebuah sepeda motor yang melaju kencang. Motor menuju ke arah Vania dan menarik tasnya.
“Tolong jambret! Tolong jambret!”
Aku langsung menuju ke arah Vania, orang orang disekitar jalan juga berdatangan. Sebelum kami sampai, motor itu sudah melaju kencang. Vania terseret, dan kepalanya membentur badan jalan. Sekuat tenagaku aku berteriak, aku menyesal tak menunggu di sampingnya. Aku kesal, dimana kekasihnya yang seharusnya menjaganya.
“Van, bangun van! Bangun!” Teriakku.
Aku tak dapat membendung air mataku melihat keadaan Vania. Kepalanya mengeluarkan darah. Aku yang selama ini merasa pusing saat melihat darah, entah kenapa rasa takut itu hilang. Yang aku pikirkan bagaimana aku bisa menyelamatkan Vania saat itu juga.
“Langsung di bawa ke rumah sakit aja mas! Pakai mobil saya saja.” Ujar salah satu orang.
“Benar pak? Terimakasih sekali pak”
“Sama sama. Ayo langsung dinaikkan saja ke mobil!”
Beruntungnya diriku karena orang orang masih memiliki rasa simpati. Dengan segera Vania kami bawa ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku mengusap darahnya yang mengucur. Aku menangis, aku benar benar lemah kali ini.
Sesampainya di rumah sakit, bapak yang baik tadi juga menanggung administrasi untuk Vania. Karena kondisinya yang parah, Vania harus masuk UGD. Aku memutuskan untuk tidak menelfon siapapun dulu, aku takut terjadi sesuatu pada Vania. Berjam jam aku menunggu dokter untuk memastikan keadaan Vania baik baik saja. Begitu dokter keluar dari ruang UGD aku langsung menanyakan keadaan Vania.
“Bagaimana keadaan teman saya dokter?” Tanyaku dengan rasa panik.
“Teman kamu baik baik saja, hanya saja saat terjatuh ada benturan yang keras pada mata kirinya. Sehingga kemungkinan mata kirinya mengalami kebutaan.”
Seketika badanku lemas, aku merasa bersalah karena tidak bisa menjaganya.
“Tapi, kalau ada donor mata untuk teman kamu, matanya bisa kembali normal.”
“Ambil mata saya dok. Asalkan teman saya bisa selamat.”
“Tapi donor mata hanya bisa dilakukkan pada orang yang meninggal. Sangat berbahaya jika pendonor masih dalam keadaan hidup.”
“Saya tidak perduli dokter! Apapun saya lakukan asalkan teman saya bisa selamat.”
“Baiklah. Tapi kita harus membuat surat perjanjian terlebih dahulu.”
“Baik dokter.”
Aku mengukuti dokter ke ruangannya untuk membuat surat perjanjian. Selang beberapa jam, operasi pendonoran dilakukkan.
Entah berapa lama sudah aku tertidur, begitu bangun ada rasa perih di mata kiriku. Aku pun tidak bisa melihat apapun, aku seperti orang buta yang hanya bisa melihat kegelapan. Tak lama dokter membuka perban yang terpasang di mataku. Aku mencoba membuka mata kananku, sedangkan mata kiriku masih tertutup perban.
Aku berterima kasih kepada dokter dan orang yang telah membiayai segala pengobatan Vania di rumah sakit. Di samping tempatku berbaring, aku melihat vania masih tertidur dengan mata tertutup perban. Aku berpamitan kepada dokter dan meminta satu hal kepadanya.
“Pak, saat teman saya terbangun tolong janga beritahu soal mata ini pak, saya mohon.”
“Tapi, kalau ada anggota keluarganya yang bertanya?”
“Jawab saja kalau dia hanya luka karena terbentur pada kepala dan matanya. Jangan katakan tentang pendonoran ini ya pak.”
“Baiklah. Saya janji.”
“Terimaksih pak. Setelah ini akan saya telfon anggota keluarganya. Saya pamit pak!”
“Iya sama sama nak!”
Aku menelfon keluarga Vania dengan hp nya. Sebelum aku pergi meninggalkannya, kusempatkan untuk mengecup keningnya. Air mataku menetes di pipinya. Berat rasanya untuk meninggalkannya. Dengan berat hati, kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah sakit tersebut.
Aku masuk sekolah seperti biasa, tapi ada yang berbeda. Iya, mata kiriku buta. Aku jadi bahan olok olokan di sekolah, termasuk di kelasku. Teman teman yang dulu dekat denganku mulai mejauh karena kondisi mataku yang buta. Tapi untungnya kedua sahabatku tetap mau berteman denganku, merekalah yang membelaku saat aku dihina dan merekalah yang selalu memberiku support agar aku tidak pernah putus asa dengan kondisiku.
Saat pertama melihat kondisiku banyak yang kaget dan terheran. Aku yang semula normal, kenapa menjadi buta sebelah seperti ini. Ibulah yang pertama mengetahui kondisiku sepulang dari rumah sakit saat itu. Ibu menangis saat aku melihat kondisiku yang buta sebelah ini.
“Kok baru pulang Ham? Terus, mata kiri kamu kenapa diperban seperti itu?” Ibu bertanya.
“Kemarin Hamish kesrempet mobil, kepala sama mata Hamish kebentur jalan. Kata dokter mata kiri Hamish buta bu.”
“Maafkan Hamish bu.” Sesalku dalam hati.
Ibu seketika memelukku dan menangis. Aku merasa bersalah karena telah membohongi ibuku sendiri. Aku tak kuasa membendung air mataku.
Dua minggu berselang, Vania kembali masuk sekolah. Kondisinya sehat. Aku senang melihatnya. Sepulang sekolah ku lihat Vania sepertinya sedang menuggu Faril di dekat gerbang. Kuputuskan untuk mendekatinya. Begitu aku menyapanya, dia kaget melihatku dan menyuruhku untuk menjauh. Dia menghinaku seperti teman teman yang lain.
“Hai Van” Sapaku.
“Ngapain kamu di sini?! Pergi pergi! Aku ngga mau punya temen cacat!” Balasnya dengan kasar.
“Ehh, maafin aku Van. Aku pamit pulang aja kalau gitu.”
“Ya sana pulang tinggal pulang!”
Entah apa yang membuat sikapnya berubah drastis. Kutinggalkan Vania, dan kuputuskan untuk pulang. Sakit hati semakin ku rasakan, tapi entah mengapa aku tak bisa membencinya.
Hari hari ku lalui tanpa komunikasi dengan Vania. Terkadang aku menyesali kondisiku yang sekarang. Aku menyesali kenapa diriku sekarang cacat. Tapi Ibu dan sahabatku selalu memberi support, dan aku bersyukur masih memiliki satu mata yang normal.
Terkadang pandanganku sering kabur atau hilang. Hidungku juga terkadang mimisan, aku takut terjadi sesuatu padaku. Tapi aku selalu berpositive thinking kalau ini hanyalah efek dari donor mataku. Saat aku pergi bersama kedua sahabatku menyaksikan pertandingan bola, aku merasa pusing dan ingin pingsan.
“Ham hidung kamu mimisan, muka kamu pucet banget lagi!”
“Ham.. ham.. hamm!”
Tegur Christian dan Faril sambil menggoyang goyangkan badanku. Aku pingsan di tengah keramaian penonton bola. Dengan segera mereka membawaku ke rumah sakit terdekat.
Saat aku terbangun, pandanganku buram. Samar samar ku lihat Christian dan Fadil menangis di samping aku terbaring.
“Kalian kenapa kok menangis?”
“Tidak apa apa Ham. Ada hal penting yang harus kami sampaikan. Tapi kamu janji harus kuat ya?” Faril membalas.
Jantungku seketika berdetak lebih kencang dari biasanya. Perasaanku sangat tidak enak.
“Apalagi yang terjadi padaku Tuhan?” Keluhku dalam hati.
“Iya Ril bilang aja!”
“Kamu.. kamu..”
Faril berhenti bicara, ia tak mampu membendung air matanya. Dia menyuruh Chrsitian untuk memberitahuku tentang apa yang terjadi.
“Kamu.. kamu kena kanker mata stadium akhir Ham.” Christian ikut menangis.
“Oh, aku ngga papa kok! Sante aja lagi hehe.”
Duniaku serasa ingin runtuh. Aku mencoba kuat dan sabar di hadapan teman temanku. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan teman temanku. Lagi lagi aku harus manyembunyikan kesedihanku, aku mersa sudah tidak sanggup lagi.
“Boleh minta satu hal sama kalian?”
“Boleh banget Ham. Apa?” Sahut Christian.
“Tolong rahasian ini semua ya, termasuk orang tuaku.”
“Tapi Ham?”
“Kalau kalian pengen nolongin aku, tolong banget jaga rahasia ini ya?”
“Iya Ham, kami janji.”
Kami bergegas meninggalkan rumah sakit. Semua kami jalani seperti biasa, tidak terjadi apa apa. Aku tau, umurku sudah tak lama lagi, maka kusempatkan untuk menulis sebuah surat untuk Vania. Surat itu kutitipkan kepada Faril, untuk suatu saat diberikan kepada Vania.
“Ril, kalau suatu saat nanti aku udah ngga ada tolong kasihin surat ini buat Vania ya?”
“Jangan gitu ah, kamu bakal sehat kok. Kamu juga kenapa sih ngga mau berobat?”
“Percuma Ril, aku udah stadium akhir. Sekali lagi titip ya buat Vania.”
“Iya Ham! Aku yakin kamu bakal sehat kok.”
Dua belas hari berselang. Hari itu adalah hari Valentine yang penuh akan rasa kasih sayang. Di sekolahku ada event dengan mengundang band band besar. Sangat ramai sekali saat itu, sampai sampai aku dan anak OSIS kewalahan. Seketika aku mimisan, aku yang sedang berjaga di gerbang tidak dapat melihat apa apa, semuanya gelap. Rekan OSIS yang lain mendekatiku dan menanyakan keadaanku.
“Ham, kamu kenapa Ham?! Ham!”
Aku tidak tau siapa yang memanggil namaku karena aku tidak bisa melihat. Badanku lemas, rasanya aku ingin seperti tertidur.
Begitu bangun ku lihat tubuhku dikerumuni banyak temanku. Mereka menangisiku, menyesalkan karena aku telah meninggal dunia. Ya, aku telah meninggal. Tidak ada lagi sakit hati yang ku rasakan, tidak ada lagi penyakit yang ku derita.
Berselang 7 hari setelah hari kematianku, Faril menepati janjinya untuk memberikan surat titipanku kepada Vania. Vania segera membuka dan membaca surat dariku. Air matanya menetes begitu membaca surat dariku.
“Untuk Vania,
Hai Van, apa kabar kamu? Udah lama ya kita ngga ngobrol, pulang bareng. Kangen bisa gitu lagi sama kamu. Tapi kayaknya itu udah ngga mungkin deh Van hehe. Mungkin waktu baca suratku ini, aku udah pergi jauh banget. Aku sekarang udah tenang di sini Van, aku udah sama Tuhan, Tuhan baik sama aku.
Maafin aku kalau kamu malu punya temen buta kaya aku. Aku ngga bermaksud bikin kamu malu. Kamu waktu itu nyuruh aku pergi jauh dari kamu kan? Sekarang aku udah menuhin permintaan kamu kok, aku udah pergi jauh sama Tuhan.
Sebenarnya aku udah suka sama kamu sejak hari pertama kita pulang bareng. Aku sayang kamu Van. Tapi begitu tau Faril juga suka sama kamu, aku lebih milih diem buat nyelametin persahabatanku sama Faril. Aku juga seneng kok begitu tau kalian jadian, semoga langgeng terus ya.
Oh iya Van, inget waktu kita ketemu pas malam Natal. Habis kita pisah itu, aku ngawasin kamu dari jauh buat mastiin kamu udah dapet angkutan umum. Tapi malah kamu dijambret, terus kepala kamu kebentur badan jalan. Akhirnya aku yang bawa kamu ke rumah sakit. Kata dokter mata kiri kamu bakal buta. Jadi, aku putusin buat ngasih mata kiri aku buat kamu, walaupun dokter sempet ngelarang soalnya itu beresiko. Aku ngga mau ngeliat kamu buta, aku ngga mau ngeliat kamu cacat, aku ngga mau kamu diejekin temen temen, aku ngga mau kamu menderita. Makanya aku kasih kamu mataku yang sebelah kiri biar kamu tetep bisa melihat seperti biasa.
Aku ngga pernah marah sama kamu Van,  apapun yang pernah kamu lakukan sama aku. Waktu kamu mengusirku pun, aku ngga marah. Aku selalu berfikir bahwa apa yang kamu lakukan itu karena kamu mencintaiku. Kamu sangat berarti buatku Van.
Aku pamit ya Van, aku udah ditunggu sama Tuhan. Aku yakin Faril biasa jagain kamu terus sampe nanti. Biarpun aku ngga pernah jadi pacar kamu, tapi aku tetep sayang kamu Van.
Salam
Hamsih”
Seketika tangisnya meledak, dia memeluk Faril dan menceritakan semua kepadanya. Vania meminta Faril untuk mengantarnya ke makamku. Di sana Vania menangis, meminta maaf atas semua sikapnya terhadapku. Tanpa meminta maaf aku sudah memaafkanmu. Aku mencintaimu Vania, walaupun aku tau kamu tidak menyukaiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates