SAFINAH MAHABBAH
Oleh M. Zuhri Ni'am
Oleh M. Zuhri Ni'am
“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”
“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”
Alunan Adzan membahana di seluruh penjuru Kota Pontianak khususnya di Jalan Sepakat II yang memiliki beberapa masjid dan surau. Tidak terkecuali pula Surau Umar milik Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya. Sosok-sosok bernyawa tergeletak tak beraturan di depan Televisi. Sungguh dua pasang mata mereka bak di lem hingga mereka tak mendengar alunan indah dari Khozin yang menyeru untuk menghadap kepada sang Ilahi. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tepi mataku untuk menarik semua bagian mata agar terpejam kembali. Gerak tubuhku juga turut menyempurnakan posisi tidurku agar semakin terasa nyaman. Musim hujan ini memang membuat aku selalu terlena dalam kenikmatan tidur. Cuaca dingin memaksaku untuk bermalas-malasan menghadap kepada Sang Pencipta.
”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”
”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”
Seruan itu semakin terdengar di telingaku. Akhhh, terasa berat sekali mataku ini. Seluruh badanku terasa lelah setelah semalaman mengerjakan tugas Evaluasi Pembelajaran yang harus kukumpulkan hari ini. Aku berusaha mengunci lagi kedua mataku, aku hendak terbang lagi ke alam kenikmatan.
“Asyhadu annaa muhammadar rasululloh ….!”
“Asyhadu annaa muhammadar rasululloh ….!”
Akhirnya badanku ku angkat, berusaha untuk bangun, mataku ku celek kan agar tidak terkatup lagi. Ku langkahkan kakiku menuju pintu kamar, kemudian menuju kamar mandi untuk mensucikan diri guna menghadap kepada sang ilahi. Kesejukan semakin menjalar ke seluruh tubuhku tatkala air mulai membasahi tangan dan mukaku. Walaupun dalam suasana dingin mencekam, sebagai seorang muslim aku harus tetap menjalankan kewajibanku. Memang terkadang aku sering menunda dalam melaksanakan sholat, tetapi aku selalu berusaha untuk sholat di awal waktu agar lebih utama. Alhamdulillah, sekarang aku hidup di lingkungan yang taat dalam menjalankan sholat. Bisa dibayangkan bagaimana jika aku hidup di luar asrama, mungkin aku sering meninggalkan sholat karena tidak ada teman yang mengingatkanku. Aku bersyukur bisa tinggal di asramaku tercinta Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya.
Perkenalkan namaku Amri. Aku seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Pontianak. Aku juga salah seorang putra daerah yang akan turut berjuang untuk Kubu Raya yang terdepan dan berkualitas bersama organisasi yang aku banggakan yaitu Primaraya (Perhimpunan Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya).
Dalam hal lain, Aku juga bersyukur mempunyai kekasih yang selalu mengingatkanku tentang sholat. Sebut saja Zuhriyah. Zuhriyah juga seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Kota Pontianak. Gadis solehah ini mengontrak bersama keluarganya di Jalan Sungai Raya Dalam. Dia adalah seorang gadis yang cantik, baik fisiknya maupun hatinya. Zuhriyah memang wanita yang taat beragama, dia tidak pernah absen untuk selalu mengingatkanku sholat. Terkadang aku berfikir jika kehilangan Zuhriyah dan teman-teman di asrama, apakah aku masih bisa menjaga sholatku. “Akhhh, semoga itu tidak terjadi” gumamku dalam hati.
Fajar semakin menyingsing sempurna, keindahan pagi ini tidak sebanding bahagianya aku mencintai Zuhriyah. Mungkin karena itulah Allah sering menegurku. Aku sering merasa kurang sehat. Setiap hari hati ini selalu mengingat Zuhriyah, karena dia adalah wanita yang sangat ku cintai. Wanita itu memiliki ruang yang sangat besar di hatiku. Sedangkan Tuhan tidak begitu besar. Sehingga Tuhan sering menegurku. Mungkin karena Tuhan cemburu karena aku lebih mencintai makhluknya daripada mencintai Allah. Seharusnya cinta ku pada Zuhriyah tidak sebesar cintaku pada Allah.
Seperti biasa, aku bercakap-cakap dengan Zuhriyah melalui SMS sambil menunggu Bibi si penjual kue datang. Karena aku selalu sarapan kue yang setiap pagi berjualan keliling. Asrama Mahasiswa Kubu Raya salah satu tempat persinggahannya.
“Kue Kue “ Dengan alunan suara nan mengayun-ayun itulah yang selalu terdengar ditelingaku tatkala jam sudah menunjukan kira-kira pukul 06.30 menit. Aku masih tetap sms an dengan Zuhriyah. Aku sangat menyayanginya.
“Assalamu’alaikum, Selamat Pagi sayang !” sms ku terhadap Zuhriyah sambil senyum-senyum sendiri.
“Waalaikumsalam, Pagi juga, kuliah nggak hari ini mas ?” sambil makan kue ku baca sms dari wanita pujaanku ini.
“Kuliah, bentar lagi, sekarang lagi makan kue nih. Sayang mau nggak ?” kutambahkan emotion senyum untuk memperindah sms ku kepadanya.
“Owh, nggak kuliah nih, nggak ada dosen, mungkin nanti ke pasar sebentar. Gag mau ah, masih kenyang, karena tadi udah makan indomie. Jadi sekarang ngantuk lagi. Hehe “ ujarnya. Aku bisa menebaknya, makanan mahasiswa kalau tidak tempe tahu, telur goreng, ya mie … hehe
”Ya udah, tidur aja deh, Mas mau berangkat kuliah dulu ya. Jangan lupa sarapan nasi ya. Baik-baik di rumah.” Kataku sambil mengemaskan bukuku yang akan kubawa ke kampus. Aku begitu menyayanginya. Bahkan aku berniat untuk menikahinya jika aku sudah lulus kuliah. Dia lah wanita satu-satu nya yang sangat kucintai. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku tahu kalau pacaran itu di larang dalam agama, tapi aku sudah terlanjur cinta. Aku tidak mau kehilangan dirinya, kalau aku memutuskan hubungan pacaran dengan Zuhriyah sampai-sampai cintaku padanya sangat membutakan hatiku untuk berfikir lebih realistis hingga cinta tersebut melebihi cintaku pada Allah Swt. “Akhhhh,,, sungguh keterlaluan diriku ini ….” Pikirku dalam hati sambil mengusap keningku.
Kehidupanku dan Zuhriyah bagai dua sisi mata uang yang terkadang berubah-ubah. Sedih dan dan senang. Dari sisi ekonomi aku memang seorang pemuda yang miskin. Makan saja hanya berlauk tempe, kadang juga hanya dengan telur goreng. Tetapi aku sudah merasa cukup dengan kehidupan ku sekarang. Aku bersyukur kepada Allah.
Orang tua ku sudah menunjukan kalau mereka merestuiku dengan Zuhriyah. Begitu juga dengan orang tuanya. Kami juga sudah sama-sama saling mencintai. Saat itu tidak ada lagi wanita yang sanggup mengisi ruang hatiku karena ruang tersebut sudah dipenuhi oleh benih-benih cinta milik Zuhriyah. Aku sungguh bahagia. Tetapi aku sering berfikir, aku sekarang sangat mencintainya, belum tentu dia akan menjadi istriku. Sedangkan karena cintaku pada Zuhriyah membuat aku sedikit melupakan Allah dan melanggar ketentuan agama. Zuhriyah juga pernah bilang agar kita tidak pacaran dulu, namun aku selalu menolaknya karena aku takut kehilangan dirinya.
“Ya Allah, berilah hamba-Mu ini petunjuk. Apa yang seharusnya hamba perbuat ? Hamba sangat mencintainya, namun apakah dia jodoh hamba kelak ?” itulah Do’a ku yang selalu ku ucapkan setiap hendak memejamkan mata di malam hari. Aku sadar akan kekeliruanku saat ini. Tapi aku bingung harus berbuat apa.
Tak lama setelah aku pulang kuliah, awan yang sendari tadi mendung, kini berubah dingin. Hujan lebat mengguyur, ditingkahi cahaya kilat nan menyala-nyala yang menerangi langit hitam pekat. Rumput-rumput di depan Asrama Mahasiswa Kubu Raya tampak tidak kuat menahan terpaan angin, seluruh daunnya, batangnya, bergoyang keras bak Ratu Goyang Dangdut Inul Daratista yang sedang bergoyang di atas panggung.
“Tiang listrik! Tiang listrik!,” tiba-tiba Susandi menunjuk-nunjuk ke depan sambil mengaruk-garuk perutnya yang kurus. Matanya menunjukan rasa cemas yang berlebihan. Tampak tiang listrik di depan asrama kami memercikkan api, kabelnya turun, mengendor. Semua menahan nafas, takut akan terjadi kebakaran.
“Harvest nya kebakar nggak ya ?” Tiba-tiba Prasetyo menyeletuk dengan raut muka yang tampak tegang disertai dengan tetesan air mata menyusuri tiap lekuk-lekuk mukanya.
Dengan raut muka yang masam dan tampak marah sehingga tulang pipinya kelihatan. Bang Handri memarahi Prasetyo sambil tangannya yang kurus menunjuk ke muka Prasetyo.
“Husss, sempat-sempatnya kamu ngurusi harvest dalam kondisi kayak gini. Minum Fruit Tea aja sana di dalam kamar” Ujarnya. Mendengar kata-kata bang handri, Prasetyo langsung menunjukan muka yang ciut.
“Ya Allah, selamatkan kami ! Selamatkan kami !” Syahadat mulai terisak, menangis deras, ketakutan teramat sangat seolah mencekik lehernya hingga ia setengah mati menahan lehernya yang tersengal-sengal.
Susandi, Prasetyo, Bang Handri dan Syahadat adalah teman-temanku di asrama yang saat itu berada di asrama. Mereka juga terlihat kecemasan yang amat hingga kedua kelopak mata mereka kelihatan membesar disertai dengan melelehnya cairan dari mata mereka.
Badai telah berlalu hanya dalam hitungan menit, namun telah berhasil membuat kami panik. Asrama kembali tenang. Tiang listrik sudah tidak menunjukan kemarahanya kepada kami. Namun angin berhasil memporak-porandakan beberapa baliho dan papan reklame, serta menerbangkan beberapa atap rumah kost, termasuk atap Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya.
Aku teringat akan Zuhriyah, dia tadi pergi ke pasar dan belum pulang ke rumahnya. “Semoga tidak terjadi apa-apa padanya Ya Allah” aku merasa khawatir karena hujan begitu deras menyerang Kota Pontianak. Rembesan air di dinding turut menjadi saksi bisu kekahwatiranku pada Zuhriyah pada siang itu.
Begitu hujan reda, Datanglah Nuryadi dengan basah kuyup dan raut muka seperti terkoyak-koyak masuk ke dalam asrama sambil menendang-nendang tembok dekat tangga. Samar-samar ku dengar bahwa ada kecelakaan antara sepeda motor dengan truk di Jalan Ahmad Yani I. Aku khawatir sekali terhadap keselamatan Zuhriyah. Kekhawatiranku memuncak ketika Zuhriyah tidak membalas SMS ku yang menanyakan kabarnya apakah sudah sampai di rumah apa belum. Dengan raut muka harap-harap cemas, kustarter vega lusuh milik ku, mesin berbunyi halus, tanpa konsentrasi yang penuh, ku tancap gas dan motorku melaju dengan kencang menuju lokasi tempat kecelakaan tersebut. Samar-samar kulihat wanita berjilbab tergeletak penuh darah di samping truk yang menabrak.
Aku terhenyak. Kaget lapis kuadrat plus kebingungan di sela-sela kerumunan orang dipinggir jalan tatkala ku saksikan dari agak kejauhan yang tertabrak cirri-cirinya mirip sekali dengan Zuhriyah.
“Sayang…, kamu baik-baik saja kan? Keringatku bercucuran tatkala wanita yang tergeletak tersebut ternyata Zuhriyah. Air mata menetes di pipiku membasahi seluruh tubuhku, seakan bermandikan air mata. Tak tega nya hati ku melihat wanita yang kucintai tergeletak tak berdaya di pinggir Jalan Ahmad Yani depan Kantor Gubernur Kalbar ini.
“Ssst, cukup, jangan banyak bicara dulu. Kita akan ke rumah sakit,” ujarku memarahi salah seorang pria yang selalu bertanya siapa diriku dan dimana keluarganya. sambil menciumi kepalanya ku bopong dia ke dalam ambulan menuju rumah sakit umum dr. Soedarso Pontianak. Aku sudah lupa bahwa dia bukan muhrimku, tetapi yang ada dalam pikiran ku saat itu hanyalah menolong dan menolong sang pemenuh ruang hatiku.
“Sayang…, sabar yah! Sebentar lagi kita sampai.” Aku terus menggenggam erat tanganya.
“Mas! Jangan sampai kamu meninggalkan shalat ya !, Aku tidak apa-apa koq mas.” Itulah kalimat yang ku dengar dari mulut mungilnya. Suara yang terpatah-patah membuatku mengeluarkan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan bercampur bangga karena di sela-sela kritis dia masih mengingatkan diriku akan kewajibanku sebagai seorang muslim.
“Iya Sayang insyaallah, tapi Adek jangan tinggalkan mas ya …” Suaraku bergetar bagaikan kesetrum listrik sambil mengusap darah yang menempel di pipi tembemnya.
Dengan mata terlihat sayup-sayup Zuhriyah mengerang kesakitan. “Mas, sakit…. Adek tak kuat lagi …. Maafkan adek mas …” Ungkapnya.
“Sabar ya, kita sudah sampai di Rumah Sakit … Adek pasti sembuh … Sabar sebentar ya sayang …” Aku mencoba menenangkan dirinya. Aku tak tega melihat Zuhriyah dalam keadaan kritis. “Ya Allah, sembuhkanlah kekasihku ini, Jangan ambil dia dariku Ya Allah …”
Sayang, aku mencintaimu. Meski dingin terus menerjang, awan berubah hitam, dan mataku lembab. Aku tetap mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku tak mau kehilangan dirimu sayang.
Ketika hendak diturunkan dari mobil ambulan, Aku menangis tak karuan tatkala menyaksikan Zuhriyah sudah tergeletak tak menghembuskan nafas dalam mobil ambulan. Suster yang berada di sampingnya sudah memastikan bahwa Zuhriyah sudah meninggal dunia. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku bagaikan mayat hidup saat itu. Urat nadi masih berdenyut tetapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dengan menggunakan ambulance yang tadi, aku langsung membawa Zuhriyah ke rumahnya yang berada di Jalan Sungai Raya Dalam. Aku kemudian menghubungi orang tuanya karena sejak tadi aku belum sempat menghubunginya. Serasa tulang-tulang rusuku remuk menyaksikan wanita yang memenuhi ruang hatiku ini tak menghembuskan nafas lagi.
Tatkala sampai di rumahnya, orang tua Zuhriyah menyambutnya dengan teriakan histeris menyaksikan anak bungsunya sudah menghadap sang Ilahi. Mataku sudah tak bisa terbendung lagi untuk memuntahkan lahar dingin yang tak pernah habis-habisnya. Entah sudah berapa liter lahar dingin yang ditumpahkan oleh kedua mataku ini. Dengan kondisi yang lemah, ibunya memeluk anaknya dengan erat seakan tak rela atas kepergian Zuhriyah yang dianggapnya terlalu cepat.
“Tuhan, kini wanita yang kucintai telah pergi untuk selamanya. Dia telah kembali kepada-Mu. Terimalah dia di sisi-Mu ya Allah …” ujarku di samping makam wanita yang kucintai itu. Pelan-pelan air mata ini kembali membasahi pipiku yang tembem ini. Tulang ini rasanya sudah tak bersum-sum lagi, otot-otot ini serasa tak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Tak tergambarkan kesedihanku pada saat itu.
“Aku berjanji akan mengingat kata-kata terakhirmu, Insyaallah aku akan menjaga shalatku, terima kasih atas semua nasehatmu kepadaku sayang. Kehadiranmu di sisiku membawa banyak perubahan walaupun karena besarnya cintaku padamu, aku sedikit melupakan Tuhan. Tapi itu salahku, bukan salahmu. Engkau wanita yang solehah.”
Kini aku sadar, cintaku kepadanya selama ini sangat berlebihan melebihi cintaku kepada Allah Swt. Allah sangat menyayangi hambanya. Mungkin dengan Allah mengambil Zuhriyah dan menjauhkannya dariku, bisa membuat diriku semakin mendekatkan diri kepada Allah. Aku memang salah, seharusnya aku tidak terlalu mencintainya sebelum aku menikah dengannya. Aku juga seharusnya tidak berpacaran, karena itu sangat di larang dalam Agama Islam.
“Huh, Menyesal sungguh tak ada gunanya.” Gumamku dalam hati sambil memejamkan kedua bola mataku yang tak henti-hentinya mengucurkan air mata.
Aku bersyukur, dibalik semua ini ternyata ada hikmahnya. Sekarang aku tidak lagi memikirkan cinta dunia, terutama kepada makhluk Allah. Aku kini lebih focus kepada Kuliahku dan Aku juga sudah tidak membuat Tuhan cemburu karena aku sudah tidak lebih mencintai makhluk-Nya daripada mencintai Allah Swt. Mungkin jika ini tidak terjadi, aku akan tetap terbuai dalam cinta dunia, mungkin ruang di hatiku akan sedikit untuk Allah. Sehingga aku selalu terjajah oleh cinta seorang wanita yang bukan muhrim yang pada akhirnya menguasai diriku.
Aku akan selalu berusaha menjadi laki-laki yang baik, agar kelak mendapatkan wanita yang baik-baik pula seperti Zuhriyah yang kini sudah tenang di sisi-Nya. Namun aku tak mau berpacaran, aku takut kepada Allah, karena kini aku tahu pacaran adalah hubungan yang tidak diridhoi Allah. Aku yakin Allah akan menunjukan jalan kepada ku akan kehidupanku selanjutnya.
Setelah berpisah darinya, aku semakin mengerti arti cinta. Cinta yang hakiki hanya kepada Allah. Sedangkan cinta kepada makhluknya hanyalah sementara. aku tidak boleh mencintai makhluk-Nya melebihi cintaku kepada-Nya. Aku berdoa agar kelak aku dapat mencintai seorang wanita yang cintanya kepadaku tidak melebihi cinta-Nya kepada Allah.
Sesungguhnya apa yang kita anggap baik belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, apa yang kita anggap buruk, belum pasti buruk menurut Allah. Kita harus yakin, Allah pasti mengetahui apa yang terbaik buat hamba-Nya. Yang harus kita lakukan sebagai hamba Allah hanyalah Berdo’a, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakal.
Musibah ini kunamai nahkoda, Zuhriyah kunamai perahu. Aku adalah penumpangnya. Perahu akan turut kemana nahkodanya pergi. Nahkoda akan mengarahkan kemana perahu tersebut pergi. Perahu itu membawa sang penumpang ke sebuah tempat yang dapat membuat sang penumpang lebih dapat mendekatkan diri kepada Allah, walaupun harus mengorbankan dirinya terhempas oleh hentaman ombak di lautan. Perahu itu kunamai “Safinah Mahabbah” (Perahu Cinta). Karena perahu tersebut telah mengorbankan diri serta cintanya untuk keselamatan penumpangnya serta kembali kepada cinta yang hakiki yaitu cinta kepada Allah, Rasul, serta jihad di jalan Allah. Semoga Bermanfaat !
*** TAMAT ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar