Social Icons

Pages

Selasa, 07 Februari 2017

Senyum Terindah Darimu


Judul Cerpen Senyum Terindah Darimu
Cerpen Karangan: Ghiffa ChocoCandy
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga, Cerpen Ramadhan
Lolos moderasi pada: 20 July 2013


Senyum itu, bukan sekedar ku menggapai bintang. Bukan sebatas ku berpijak dalam awan. Juga bukan hanya hiasan saat ku lihat hujan. Walau sekilas pelangi, tapi sangat berharga bagiku tuk mengenang. Mengenangnya kembali, meski sudah usang dimakan usia. Kini aku telah renta, tak berdaya. Memang begini adanya…
Hari-hari ku jalani tanpamu. Tanpa seberkas cinta yang terlukis selamanya di matamu. Aku merindukan itu. Sangat merindukannya. Apakah, kau pernah berpikir tentang keabadian? Keabadian yang memang takkan pernah ada di dunia?
Dua minggu sudah kau pergi. Meninggalkan jejak-jejak abadi di hidupku. Warnanya mulai kusam, sayang. Bukan mungkin lagi, karena usia kita sudah tua. Aku tak pernah menyangka bahwa minggu lalu adalah hari terakhir kita berkumpul bersama anak-anak yang kita cinta. Yang sudah kita besarkan dengan kasih sayang. Dari dekapan seorang ayah sepertimu. Itu sangat membuat kami tenang.
Akhir pekan yang selalu ku nanti setiap hari. Walau tak ada dia, tak ada mereka, anak-anak dan cucu-cucuku yang manis. Aku sangat merindukan mereka. Kini aku harus tinggal sendiri tanpa siapa pun. Mungkin nanti mereka akan datang kepadaku. Kedua anakku yang kini sudah dewasa dan sudah berkeluarga itu, akan menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahku yang sederhana ini, yang penuh dengan tanaman hias yang aku jaga selalu. Kalau bukan tanaman yang aku rawat setiap hari, lalu siapa? Mungkin di mata kalian, mereka terlihat tidak perduli terhadapku. Tapi bagiku, mereka sangat peduli padaku. Dengan mengirim uang bulanan yang ku butuhkan setiap hari, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Mungkin mereka sibuk. Ya, sibuk, kawan.
Aku bangun pagi pukul 04.00. Seperti biasa, aku akan sholat tahajjud dan membaca Al-Qur’an hingga adzan pun berseru membangunkan umat muslim untuk menunaikan sholat shubuh yang suci ini. Aku keluar rumah untuk mengambil air wudhu, karena memang letak sumur dan kran air untuk wudhu ada di luar. Di rumah yang sederhana dan tradisional inilah, ku besarkan anak-anakku hingga sukses seperti sekarang, bersama dia. Lagi-lagi, dia..
Dulu, saat kedua anakku beranjak sukses, mereka menyuruhku untuk mengubah rumah ini menjadi lebih modern. Aku bersikeras membantah semuanya. Karena, disinilah kenangan itu terlukis indah di memori otakku yang sudah pikun ini. Setiap kali kulihat ruang tamu beserta kursi-kursinya yang sudah renta pula, aku teringat kembali ke masa lampau saat aku muda dulu. Di tempat inilah aku merencanakan, berapa anak yang akan ku lahirkan nanti. Di tempat ini pula aku sering merencanakan masa depan bersama suami dan kedua anakku. Kini, itu semua tinggal kenangan. Aku sangat, sangat ingin memeluknya. Memeluk mereka semua seperti dulu. Aku sangat merindukan masa-masa lampau yang tak akan pernah terulang lagi. Jika kau sedang merasakannya saat ini, maka hargailah dan nikmatilah. Itu takkan ada untuk kedua kalinya. Seperti aku, umurku sudah tua, dan aku tak mungkin berubah menjadi muda lagi.
Tak terasa, dia sudah pergi 5 bulan yang lalu. Dan tak terasa pula, 5 bulan pula aku mendekap kenangan-kenangan bersamanya (baca: rindu). Aku selalu berharap dia tenang disisi-Nya. Allah akan menjagamu, sayang. Percayalah. Dengan tanganku yang sudah gemetar ini, akan ku panjatkan segala asa dan do’a untukmu dan untukku. Untuk kita, sayang.
Kau tau, apa yang sedang aku pikirkan sekarang?
Ya, tentang keabadian yang damai di antara waktu-waktu yang mendarat begitu cepat. Ada sesuatu yang tak mau terusik kebahagiaannya. Mungkin kesedihan berharap teriakan itu akan sampai di telinganya suatu hari, agar namanya tak lagi jadi kesedihan.
Perlu kau sadari, sayang. Bahwa setiap harinya, aku selalu ingin bercerita padamu tentang keseharian yang ku jalani tanpamu saat ini. dengan menyihir diaryku menjadi goresan-goresan tanda kesabaranku bersurat padamu. Walau aku tau, ini tak mungkin kau baca seluruhnya. Ingin.. sekali aku pergi ke surga, tempat tenang dan nyamanmu itu. Dan aku membawa buku diary ini untuk kau baca. Tak apa, bila ada seseorang yang tidak mengizinkanku untuk membawa seluruhnya, mungkin serpihan kertasnya saja, akan ku kembalikan padamu, pada seseorang yang selalu menjadi topik utama dalam diary ini. Mungkin tiap barisnya pun sudah lelah membaca namamu, sayang.
Dear diary
Apa kau bosan, untuk selalu ku ambil engkau untuk menuliskan namanya di setiap lembaran kertasmu? Kau tau? Aku sangat merindukannya. Aku ingin kembali pada masa-masa dimana aku, dia, dan anak-anakku berkumpul harmonis tanpa beban berat. Walau masalah tak hentinya terlempar pada kami.
Weekend ini, anak keduaku datang mengunjungiku. Tapi sama sekali tak ada yang spesial. Dia hanya menanyakan kabar dan melihat keadaan sekitar rumah. Itu saja, tidak lebih.
Aku tau. Jagoan keduaku ini sangat sibuk. Sama seperti saat dia junior. SMP dan SMA, dia sangat aktif sana-sini dan kadang lupa pada kesehatannya. Aku selalu berharap bahwa isterinya bisa mempedulikan kesehatan anakku itu.
Setiap aku menuliskan nama suamiku tercinta di setiap bagian tubuhmu, mungkin kau berpikir bahwa aku belum bisa ikhlas menerima kepergiannya. Bukan. Bukan itu, sahabatku. Aku hanya ingin selalu mengenangnya di setiap saat. Setelah ia, ku pastikan takkan ada lagi penggantinya. Yang terindah, tetaplah menjadi titik terang dari setiap tawa. Aku telah berpatri pada satu janji saat pertama kali ku sadari bahwa hatiku telah jatuh padanya.
Menerima itu tidak semudah saat kau belajar untuk mengenal huruf-huruf alphabet. Sama seperti kau mengikhlaskan sesuatu untuk pergi selama-lamanya. Itu sangat sulit, bukan?
Kawan, hari ini, tepat 3 bulannya kepergian suamiku. Dan hari ini pula, anak dan cucuku datang ke rumah untuk menjalankan Ramadhan bersama. Walau menantu dari anak keduaku bukanlah seorang yang beragama Islam, tapi.. aku senang mereka masih mempedulikanku dengan menghabiskan Ramadhan hingga lebaran tahun ini di rumah yang sangat sederhana milikku.
Aku sedikit sedih karena terkadang aku tak mengerti apa yang cucu-cucuku bicarakan. Cucuku hanya 4. Tetapi mereka lahir dan besar bukan di Negara kami, Negara Indonesia. Mereka tinggal di berbagai Negara mengikuti kedua orangtuanya. Maklumkan saja, aku orang dulu yang hanya lulusan madrasah tsanawiyah. Itu pun sangat bagus di zamanku. Aku harus mati-matian untuk berjuang mempertahankan sekolahku yang akhirnya aku sendiri yang membiayai hingga kelulusan karena kedua orangtuaku tidak mengizinkan aku untuk melanjutkan ke tingkat SMP, katanya, aku cuma gadis desa yang kampungan. Aku tidak lancar berbahasa inggris. Hanya kenal pada beberapa kata kerja dan kata benda, itu pun aku sudah sedikit lupa.
“Grandmaaa…” panggil cucu pertamaku. Mereka memang tidak memanggilku dengan panggilan nenek, atau mbah. Tapi dalam bahasa inggris.
“Iya, sayang? Kenapa, cu?” Sahutku di dapur
“Where is my milk? Susunya gak ada, grandma…” Kenapa cucuku harus selalu berteriak saat memanggilku? Tapi itu tak menjadi masalah. Ku maklumi, mereka masih sangat imut dan lucu.
“Disini, sayang.” Dan cucuku pun segera menghampiriku di belakang, dengan sedikit omelan tak jelas tampak pada bibirnya.
Sore hari. Jam 5 aku sudah mendatangi sahabatku (dapur) untuk menyiapkan makanan untuk buka puasa nanti. Tanpa bertanya terlebih dahulu, segera ku buatkan es campur andalan yang dulunya selalu jadi menu favorit keluargaku, terutama dia.
“Sudah jam setengah 6 sore, anak-anakku belum kumpul juga. Pada kemana mereka?” Gumamku dalam hati.
“Good evening, everybody here.”
“Itu pasti Rio anak pertamaku.” Bicaraku dalam hati.
Tak terasa, adzan maghrib pun berkumandang. Itu tandanya, puasaku hari ini selesai dengan lancar. Sebelum akhirnya aku siapkan makan dan minum di meja makan, dan memanggil anak, serta cucuku untuk buka bersama. Tapi aku sungguh terkejut saat mereka membentakku.
“Grandma! What the kind of this drink?! Ini sungguh tidak enak!”
“Bu, ini esnya kok aneh rasanya?” tambah anak keduaku.
“Kenapa, nak? Ibu tidak menambahkan apa pun di dalamnya. Ibu membuatnya seperti biasa. Sama seperti dulu saat kita buka bersama dengan bapak, nak.”
“Huh. This’s sidesplitting! Ayo, sayang, kita buka puasa di luar saja!” Mengapa anak-anakku pergi? Aku sudah membuatkan banyak es. Bahkan, menurutku ini lebih enak dari biasanya.
Aku tak percaya dengan perkataan anak dan cucuku tadi, maka ku cicipi ulang semua makan dan minuman yang telah kubuat ini. Aku sama sekali tak merasakan suatu keganjilan dalam rasanya. Ini sungguh enak dan menyehatkan. Aku tak habis pikir, mengapa mereka tidak menyukainya sampai-sampai memutuskan untuk buka puasa di luar. Oh, ya. Mungkin lidah mereka berbeda dengan lidah tua yang ku miliki.
Idul fitri sudah bisa dihitung dengan jari. Aku sangat bahagia. Di sisa umurku ini, Allah masih memberiku kesempatan untuk merayakan salah satu dari 2 hari besar umat muslim. Tapi, Dia juga belum mengizinkanku untuk memberikan diaryku pada suami tercinta, dan bertemunya di alam abadi sana. Hhhh… tak apa. Mungkin inilah tahun terakhir aku merayakan Idul Fitri.
“Grandmaaa… sepatu olahragaku dimana? Ambilkan di tas pribadiku kalau tidak ada di rak.” Lagi-lagi cucu pertamaku berteriak saat memanggilku.
“Mamaa… bajuku sudah di setrika belum? I wanna use right now.” Mama, berarti menantuku yang memanggil.
“Buuu… minum, bu, haus. Aku tidak kuat untuk puasa hari ini.” anak ketigaku membatalkan puasanya di akhir Ramadhan. Sungguh menyedihkan. Tapi aku tak bisa berbuat apa pun.
Dan hari ini, sungguhlah melelahkan. Ku akui, bukan hanya hari ini. tapi memang sejak ada tamu jauhku itu, aku memang selalu seperti ini. Penyakit asam uratku kambuh jika aku terlalu lelah beraktifitas. Tapi aku sama sekali tidak merasa di repotkan. Yang biasanya aku tak pernah lagi menjadi wanita sibuk sejak anak-anakku menikah dan tinggal di luar negeri, sekarang aku mendadak terlalu sibuk. Ini memang lucu, bukan? Dan aku senang dengan keadaanku yang sekarang ini.
Idul Fitri datang menyapa kami. Dan itu tandanya, anak dan cucuku akan segera kembali ke Negara asal mereka. Aku sedih. Aku akan kembali seperti semula. Dengan tanaman hias saja aku tinggal. Hmm…kan, dia sudah tak ada.
2 hari setelah Idul Fitri berlangsung, anak cucuku pamitan untuk segera pulang. Aku sangat dikejutkan oleh perkataan anak pertamaku bahwa…
“Bu, kita mau pulang dulu, dan…” Omongan anak pertamaku terputus. Tiba-tiba, muncullah seorang anak kecil sekitar umur 7 tahun dari balik badan anak pertamaku, Rio.
“Masya Allah.. siapa ini?!” aku kaget seraya mengelus kepalanya. Ini sangat kecil, ia masih sangat imut dan menggemaskan.
“Kami memutuskan untuk mengambil anak ini untuk ibu rawat. Kami mengambilnya di panti asuhan kemarin. Dan kami pikir bahwa tidak ada siapa pun yang menemani ibu di rumah. Maka kami memanggil anak ini buat jadi temen ngobrol ibu di rumah.” Subhanallah.. kadang aku berpikir, mereka sangat acuh padaku. Dan terkadang pula, mereka sangat sangat peduli denganku.
“Baik, nak. Ibu jaga anak ini.” Terimaku “Sini, sayang. Sama nenek.” Aku segera melambaikan tangan tanda mengajak anak itu untuk menghampiriku.
Anak dan cucuku segera berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta. Dan tinggallah hanya aku dan anak kecil ini yang berada di rumah.
“Namamu siapa, sayang?” tanyaku saat ia melihat ruang tamuku kotor dan segera mengambil sapu.
“Ita.” Jawabnya singkat.
“Oo..kalau begitu, kau boleh memanggilku dengan sebutan nenek. Anggap saja aku ini nenekmu.”
“Baik, nek.”
Dan kini, hari-hariku pun tak pernah sepi dari tawanya seorang gadis cilik yang sangat ramah dan penyayang ini.
“Nek, sudah di minum susunya?” Dan dia tak pernah lupa untuk membuatkanku segelas susu dan segelas teh di pagi hari. Ita memang sangat rajin dan perhatian padaku. Aku sangat menyayanginya.
Dear diary
Kesepian itu sudah pergi dari awan hitam. Aku sudah tak lagi memikirkan jemari yang hilang. Dari datangnya seorang malaikat kecil di hidupku, lebih dari cukup yang kau lukiskan pada langit. Bukan hanya renyahnya tawa seorang gadis kecil. Dia sangat innocent. Dia selalu membuatku tertawa bahagia.
Malaikat kedua mana yang telah Kau kirimkan padaku setelah dia, ya Allah? Aku sadar, aku telah salah mendidik anak-anakku sehingga mereka seperti tak beragama dengan taat pada perintah-Mu. Jangan biarkan lubang kesengsaraan itu berganda menjadi dua. Dan biarkan aku mendidik si gadis kecil ini sedikit lama. Aku ingin mendidiknya dengan baik, karena dia pun sudah memiliki sifat manis dari sananya.
Kerinduan itu tetap tertancap pada dasar yang sama. Tak berembun lagi. Kini mentari telah mengambil tiap tetesan embun suci itu. Mentari yang selama ini hilang dan aku baru saja menemukannya kembali. Ternyata, sinarnya tak padam meski pernah ku lihat, kesembaban tertoreh di wajah lucunya.
Sayang…
Tenanglah kau disana. Aku betah untuk berlama-lama dengan Ita, gadis kecil yang kini menemani hariku. Aku merindukanmu, itu pasti. Tak usah kau bertanya lagi..
Di satu sore yang cerah. Aku duduk di samping halaman rumah. Dekat sekali dengan bunga-bunga kesayanganku itu. Ita menghampiri dengan bau wangi dan wajahnya yang terlihat sangat anggun.
“Nek, apa kau sudah makan?”
“Sudah, sayang. Kamu sudah?”
“Sudah, nek.” Saat ia menjawab, ia tak lupa membawa senyum manisnya itu.
Kami diam beberapa menit.
“Nek..” panggilnya lembut.
“Iya, cu?”
“Aku ingin meminta sesuatu pada nenek.”
“Apa itu, sayang? Katakan.”
“Bisakah kau mengambilkanku salah satu bunga yang paling indah di antara bunga-bunga yang cantik itu?”
“Tunggu ya, nak. Nenek akan segera memilih dan memetiknya untukmu.” Dan aku segera mengambilnya.
“Ini, sayang. Untukmu.” Aku tersenyum penuh dengan keikhlasan.
“Terima kasih, nenek.” Satu kata yang tak pernah ku dapat dari anak dan cucuku..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates