Social Icons

Pages

Selasa, 21 Februari 2017

Cinta Harus Memilih

Cerita Cinta Segitiga Pendek – Cinta Harus Memilih




Masih kuingat jelas, hari itu aku akan pergi ke Jakarta. Pagi-pagi aku berangkat ke bandara naik taksi. Setelah minum segelas susu dan sepotong roti yang disediakan Mami aku bergegas menuju taksi yang sudah menungguku di depan rumah. ” Berangkat dulu ya Mi.” Ucapku sambil mencium tangan Mami.
Aku ada tugas ke kantor pusat di Jakarta, dan aku ikut penerbangan pertama dari Jogja. Sesampainya di Bandara, aku langsung check in. Setelah menunggu agak lama, ada pengumuman kalo pesawat yang hendak aku naiki harus delay karena cuaca buruk. Memang benar, cuaca yang tadinya baru gerimis, tahu-tahu berubah jadi hujan deras di sertai angin. Jadi terpaksa aku menunggu di bandara.
Aku segera mengambil tempat duduk, sambil menelepon memberitahu rekanku di Jakarta.
“Maaf bisa geser sedikit pak?” Kata seseorang terhadapku. Aku menoleh, dan rasanya aku sangat mengenal sosok cewek yang ada di hadapanku sekarang. Begitu juga cewek ini, dia juga terkejut saat melihat aku. ” Aldo…” Seru cewek itu. ” Lena…ini kamu Lena kan.” “Iya Do…hai apa kabarmu Do.” Sapa Lena ramah padaku. Dia masih tetep seperti dulu, cantik, enerjik dan juga menarik.
“Hayo bengong aja kamu…” Ucapan Lena mengagetkanku. ” Eh Do, sekarang kamu tinggal dimana?” Tanya Lena sambil duduk di sampingku. ” Masih di Jogja. Kamu?” Tanyaku balik. Lena dulu teman masa kecilku, kami bertetangga waktu masih di Solo. Kami dulu satu SD di Solo, tapi waktu kelas 6 dia pindah ke Jakarta ikut orangtuanya.
“Aku di Jakarta, Do.” Katanya sambil membuka permen dan mengasihkan padaku. ” Kamu di Jogja ngapain?” Tanyaku. “Nyariin kamu.” Ucap Lena cuek, sambil melirik aku. Aku jadi salah tingkah, gimana nggak salah tingkah dilirik cewek secantik Lena. Tapi kemudian Lena tertawa. “Aldo…Aldo kamu masih aja seperti dulu…lugu…haha.” Kali ini Lena menertawakanku.
Akhirnya kami terlibat pembicaraan yang mengasyikkan. Walaupun delaynya hampir 2 jam, tapi tak terasa, pikiran kami seperti kembali saat aku jadi teman kecilnya. Saat aku selalu iseng mengganggunya dan berhenti kalau Lena sudah menangis. Bahkan kami tetap akrab seperti dulu, hingga kadang candaan kami bikin orang yang duduk di samping kami terganggu.
Setelah pesawat sampai di Jakarta, kami menuju tempat tujuan kami masing-masing. Dan tak lupa kami tukaran no hp, bahkan Lena kasih tahu alamat rumahnya.
Dan setelah acara di kantor pusat selesai, aku sengaja tidak langsung pulang ke Jogja. Aku ingin mampir ke rumah Lena, sekalian silaturahmi sama orangtua Lena. Sudah lama sekali aku nggak bertemu mereka, pasti mereka akan senang melihatku.
Akhirnya sampai juga aku ke alamat rumah Lena. Sebuah rumah mewah yang lumayan besar, dengan pintu gerbang dari kayu jati.
Aku pencet bel di pintu gerbang. Sebentar kemudian datang seorang perempuan paruh baya membukakan pintu. Mungkin ini pembantunya Lena. “Cari siapa Mas?” Tanya dia ramah. ” Mbak, bener ini rumahnya Mbak Lena?” “Iya Mas.” “Mbak Lena nya ada?” Tanyaku kemudian. ” Ini Mas Aldo ya…” Tebak si Mbak. ” Iya bener Mbak.” ” Silakan Mas, udah ditunggu Mbak Lena dari tadi.”
Lalu aku ikuti langkah Mbak Surti, nama pembantu Lena, masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam, aku begitu takjub dengan interior rumah yang begitu megah, apalagi dengan mebel dari kayu jati asli, menambah ruang tamu ini menjadi elegan. Tapi suasana dalam rumah tampak sepi.
“Hai Do…” Aku menoleh karena tiba-tiba Lena sudah ada di sampingku. “Hai…Om sama Tante mana Len?” Tanyaku. Tiba-tiba Lena terdiam dan memandangku. ” Papa sama Mama sudah meninggal Do.” Ucapnya lirih. “Innalillahi wa inna ilahi rojiun…maaf ya…kalo boleh tahu kapan mereka meninggal?” Tanyaku sambil memandang wajah Lena yang tiba-tiba jadi sedih.
Dia menghela nafas panjang, mungkin dia masih sedih untuk bercerita, makhlum Lena anak tunggal, jadi kehilangan orangtua mungkin sangat membuat dia bersedih. Tapi kemudian dia tersenyum lalu kembali menatapku. ” Sudahlah aku nggak sedih kok, dibuat sedih toh Mama dan Papa juga nggak akan kembali. Mereka sudah tenang, mereka meninggal 3 tahun yang lalu, karena kecelakaan saat mereka mau ke Bandung, mobil mereka tertabak kereta saat mau menyeberang rel”.
Aku salut dengan Lena karena dia begitu tegar. Dia masih seperti dulu, gadis yang periang dan pantang untuk bersedih.
Lena menawariku untuk makan, rupanya dia sudah menyiapkan masakan khusus buat aku. “Coba Do, cicipin ayam goreng buatanku.” Lena menyodorkan sepiring ayam goreng dihadapanku. “Emang enak?” “Yeee…ya enak dong.” Bela Lena sambil ketawa kecil. Bener juga, ayam goreng buatan Lena enak, mengingatkanku sama ayam goreng buatan Tante Mira, Mama Lena.
Tiba-tiba ada sms, lalu aku buka, ternyata dari Fira pacarku. Ya ampun, aku lupa kalau malam ini aku janji mau nganter dia cari baju. Tapi aku nggak mungkin balik ke Jogja malam ini, karena hari sudah malam, sementara penerbangan sudah habis. “Maaf yang, aku ini masih di Jakarta. Besok aja ya.” Balasku. “Kamu gimana sih yang, kan baju itu mau dipake besok pagi.” Ya ampun, lagi-lagi aku lupa kalau baju itu mau dipakai Fira wawancara besok pagi.
Lena melihatku, sepertinya dia tahu kegalauanku “Kenapa Do ?”
” Oh…nggak kok.” Aku pura-pura menutupi. Tapi sebentar kemudian hp ku berbunyi lagi, kali ini Fira meneleponku, mungkin dia akan marah atau melampiaskan kekesalannya padaku. Berkali-kali tidak aku angkat, akhirnya hp kumatikan.
“Loh kok nggak diangkat? Dari pacar ya…” Tebak Lena. Aku hanya tersenyum. “Angkat aja lagi…kasihan kan.” Akhirnya atas saran Lena, akupun menelepon Fira. Tapi apa yang kudapat, Fira marah-marah padaku saat aku kasih tahu kalau aku bilang main di rumah Lena teman kecilku.
“Aku nggak habis pikir ya Do, kok kamu bisa lakukan itu padaku sih. Kamu jahat…” Bla bla bla…Fira menyumpahi dan memarahiku dengan beraneka kalimat. Karena nggak enak sama Lena, akhirnya aku tutup teleponnya.
Aku segera balik ke ruang makan, dan Lena masih menunggu di situ. “Eh Do, kalau kamu mau menginap kamu bisa tidur di kamar depan.” Ucap Lena sambil memberesi piring sama Mbak Surti.
Aku nggak mungkin menolak tawaran Lena, apalagi hari emang sudah malam dan di luar juga hujan turun dengan derasnya. Akhirnya malam itu aku tidur di rumah Lena. Saat aku beritahu Mami di rumah, Mami sangat senang lalu ingin disambungkan dengan Lena. Dan mereka pun terlibat pembicaraan yang lumayan lama, sementara aku menonton televisi dengan para pegawai rumah Lena.
Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk pulang dengan ikut penerbangan pertama. ” Eh Do, salam buat Mami kamu ya, sama ini ada sedikit oleh-oleh buat Mami.” Ucap Lena saat mengantarkanku sampai Bandara. “Makasih ya Len, ingat kalau ada apa-apa kasih tahu aku ya.” Ucapku.
Dan selanjutnya, aku pun kembali beraktifitas seperti biasa, pagi sampai sore bekerja. Sementara kalau malam kadang jadi sopir Fira, sebagai pacar aku harus siap mengantar Fira kemana aja dia mau, kalo nggak diturutin pasti dia akan sangat marah. Entah mengapa aku selalu saja menuruti permintaannya.
Sementara Lena juga tidak pernah menghubungiku, mungkin dia sibuk mengurusi perusahaan Papanya.
Suatu malam, tiba-tiba aku ingin telepon Lena. Aku hubungi nomer telepon rumahnya, setelah agak lama akhirnya ada yang mengangkat juga. ” Non Lena di rumah sakit, Mas.” ” Sakit apa Mbak?” Terus terang aku terkejut mendengar berita ini. “Non Lena sudah lama sakit ginjal pak, dan kemarin kondisinya menurun jadi dirawat di rumah sakit.” Beritahu Mbak Surti. Ya Allah, kenapa Lena nggak ngasih tahu aku sih.
Tanpa pikir panjang, paginya aku langsung berangkat ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit tempat Lena dirawat.
Sampai di kamarnya, Lena tampak tidur sendirian. Dan saat aku mendekat, tiba-tiba dia terbangun. “Aldo?” Dia sangat terkejut saat aku sudah di sampingnya. “Kok kamu tahu sih?” Tanya dia heran. ” Iya, kemarin aku telepon rumah kamu, yang ngasih tahu Mbak Surti.” Jelasku. Aku pandangi wajah Lena yang sangat pucat. Dia malah tertawa. “Ngapain kamu liat aku begitu?” Aku jadi kikuk sendiri melihat tingkah Lena. “Kamu kok nggak kasih tahu aku sih Len?” Protesku. Tapi lagi-lagi dia tertawa kecil. “Sudah biasa lagi Do, paling habis ini aku sehat lagi. Kemarin kebetulan lupa aja jadwal cuci darahnya.” Jelas dia enteng, tanpa beban.
Aku jadi terharu dengan sikap tegar Lena, bagaimana dia bisa setegar ini dengan sakit ginjal yang dideritanya. Bener-bener dia masih seperti dulu, tidak pernah nangis saat dia jatuh. Dia hanya menangis saat sudah kesal aku jahilin.
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikapnya. “Kamu nih, bandel ya.” “Emang dari dulu kan…” Jawabnya manja.
Entah mengapa aku merasa nyaman saat di dekat Lena. Aku jadi ingat, aku merasa kehilangan sekali saat Lena pindah ke Jakarta. Aku mengurung diri di kamar seharian, bahkan sampai tidak mau makan. Dan masih kuingat jelas waktu itu Mami begitu bingung dengan sikapku.
Lena tertawa saat dia mendengar ceritaku itu. “Yeee…cowok kok cemen sih. Waktu itu nangis nggak?” Aku mengangguk, dan Lena semakin keras menertawakanku.
Aku senang, karena Lena begitu gembira saat aku temani. Sementara Fira sangat marah ketika tahu aku di Jakarta menunggu Lena. Dia mengancam minta putus. Aku tidak menanggapi kemarahan Fira, aku paham dia pasti sangat kecewa dengan sikapku. Tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Lena saat dia sendiri menghadapi sakitnya.
Kalau boleh jujur, Lena adalah cinta pertamaku, aku sangat sayang sama dia. Aku nggak mungkin membiarkan dia menderita.
Dan pagi itu, tiba-tiba saja Lena pingsan, kondisinya menurun, aku sangat cemas sekali dengan kondisinya. Tak terasa airmataku menetes, saat melihat kondisi Lena yang tergolek lemah dan sedang ditangani dokter. Aku hanya bisa berdoa semoga dia baik-baik saja.
Beruntung, akhirnya Lena bisa kembali sadar, tapi kondisi sangat lemah, bahkan bicaranya sangat lirih. Aku genggam tangannya. Aku tidak mau lagi kehilangan kamu Len, aku tidak ingin merasakan itu lagi.
Akhirnya aku mengambil keputusan untuk mendonorkan ginjalku pada Lena. Fira lagi-lagi sangat marah padaku, tapi aku tak peduli waktu dia memutuskan aku. Maafkan aku Fir, aku telah mengecewakanmu. Tapi ini harus aku pilih, aku nggak bisa membiarkan orang yang aku sayang menderita dan meninggalkanku. Sementara Mami, walaupun berat akhirnya menyetujui keputusanku. Karena aku tahu Mami juga sangat sayang sama Lena.
Dan Lena dia tidak setuju saat aku utarakan niatku. Dengan lemah dia menggeleng. “Tolong Len, aku nggak ingin kehilangan kamu lagi…sakit sekali saat aku harus kehilanganmu Len.” Kulihat Lena menitikkan airmata, baru kali ini aku melihat airmata keluar dari mata Lena. Akhirnya dia mengangguk pelan.
Beruntung, setelah dilakukan pemeriksaan, ginjalku cocok. Dan akhirnya operasi dilakukan, aku hanya berharap Lena bisa lebih lama lagi menikmati hidup dan aku tidak ingin kehilangan dia untuk kedua kali.
Setelah operasi selesai, aku tersadar, sudah ada Mami di sampingku. Kulihat Mami tersenyum padaku, segera aku ingat Lena. “Lena gimana Mi ?” Mami mengelus kepalaku. ” Lena baik-baik saja.” Betapa leganya aku, terima kasih ya Allah. Ingin rasanya aku segera menemui Lena dan segera melihat lagi senyumnya.
“Makasih ya.” Ucap Lena saat aku menemuinya. Dia kembali tersenyum walaupun masih lemah. “Len, aku sayang kamu.” Ucapku sambil menatapnya. Dia tampak meneteskan airmata. ” Aku tak tahu harus bilang apa sama kamu Do, aku juga sayang kamu Do.” Ucapnya sambil memelukku. Aku balas memeluknya erat, aku tak ingin sia-siakan kesempatan ini Len, aku hanya ingin membahagiakanmu. Akhirnya aku melamarnya. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates