Social Icons

Pages

Minggu, 12 Februari 2017

AKU MENJADI GURU


Karya Lutfi Rismahani

Di semester tiga ini jadwal belajarku semakin padat. Aku pun mendapat amanah untuk mengajar di Sekolah Dasar sebagai guru agama untuk sementara. Bertemu dengan anak-anak kecil nan lucu membuatku semakin bersemangat dalam belajar dan mengajar. Kebetulan sekolah yang kuampu adalah salah satu sekolah untuk orang-orang kurang mampu. Anak-anak yang bersekolah di situ kebanyakan berpakaian ala kadarnya. Walau begitu semangat mereka untuk terus belajar patut diacungi jempol. Subhanallah.. melihat mereka begitu antusias dalam belajar aku pun ikut bersemangat dalam mengajar mereka. 

Dari pagi hingga sore kuhabiskan waktuku untuk mendidik mereka. Semakin hari semakin besar rasa cintaku terhadap mereka. Mereka sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Setiap kali aku bosan, kusempatkan untuk menemui mereka belajar dan bercanda bersama menghabiskan sisa waktu yang ada. Rasanya menyenangkan sekali berada di dekat mereka. Aku ingat sewaktu pertama aku mengajar di sana. Suasana kelas waktu itu terasa sepi sekali bagaikan kuburan di siang hari. Selama satu jam aku berdiri menyampaikan materi tidak ada yang berani bergerak apalgi mengeluarkan suara. Hanya sekali terdengar suara berisik. Barulah setelah berjalan beberapa hari aku mulai akrab dengan mereka. Aku mencoba mengenali mereka satu persatu. 

Belajar menjadi sosok teman bagi mereka bukan guru yang selalu mengharapkan ini dan itu. Mereka jauh lebih baik dari anak-anak kota pada umumnya. Mereka patuh dan taat setiap kali aku minta untuk maju dan menjawab pertanyaan. Kuajari mereka cara bertutur kata yang sopan, cara bertingkah laku yang santun. Kutanamkan kebiasaan baik pada mereka sejak awal aku masuk. Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun kini menjadi budaya kami sehari-hari. Sudah hampir satu bulan ini aku mengabdi di sekolahan ini. Aku ingin meninggalkan jejak-jejak yang nantinya akan mereka ikuti di kemudian hari.

Sore itu sepulang dari mengajar aku melewati jalan kecil di sekitar sekolah. Aku mendapati selembar kertas jatuh di hadapanku. Kuambil dan kubaca itu. Ternyata kertas itu berisikan perlombaan cerdas cermat yang diadakan esok hari pukul 9 pagi. “Masya Allah, besok,?” ucapku kaget. Kebetulan peserta perlombaan tersebut adalah perwakilan salah seorang anak dari tiap sekolah. Aku berpikir sejenak, “Oh yaa… Siti.. yaa Siti.. dia anak yang tepat untuk lomba ini, ucapku yakin. Siti merupakan salah satu muridku yang cerdas di kelas. Dia aktif bertanya dan maju ke depan kelas. Di saat teman-temannya kebingungan menjawab pertanyaan yang aku ajukan, Sitilah yang dengan cepat dan tepat menjawab pertanyaanku. Tapi, masalahnya sekarang adalah di mana Siti tinggal? Pertanyaan ini muncul kemudian. Hari sudah semakin malam, tidak mungkin jika aku harus mencari rumahnya sekarang. Sangat tidak sopan jika aku bertamu lewat jam. Besok pagi-pagi sekali aku akan kembali ke sini mencoba mencari rumahnya. “Iya, itu lebih baik”, ucapku mantap.

Dring…dring…dring… It’s time to Qummm.. (bangun) Aaghh… (sambil menutup mulut) suara dering alarm pagi itu membangunkanku. Tubuhku pagi itu terasa berat sekali. Mungkin karena kelelahan, sepanjang hari aku bekerja tanpa istirahat. Tanpa sadar mataku mulai menutup kembali. Dan… “Mbak… Upicccc ( kebetulan di rumah panggilanku Upic)…..bangunn..!!!! udah jam 7 nie.. mau tidur sampai kapan ? ayoo buruan!!!”, teriakan adikku pagi itu membangunkanku. “Masya Allah..jam 7 nda?” kataku tak percaya. “Astaghfirullah… mbak upic belum shalat subuh nda!!” “Gaswat darurat ini!” teriakku panik. Langsung aku menuju kamar mandi dan di saat aku ingin mikturisi (BAK) ohh ternyata … ( kataku sedikit lebih tenang karena pagi itu aku berhalangan) syukurlah.. aku tidak perlu panik sekarang. Segera kubersihkan diri dan berganti baju putih dan rok hitam, tak lupa kerudung putih kukenakan. Hari ini adalah hari istimewa jadi aku harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang ada. “Ibu, nanda mbak Upic merangkat dulu, Assalamu’alaikum”…pamitku sambil terburu-buru.

Di perjalan menuju sekolah tempat aku mengajar ternyata ada Siti yang duduk di pesisir pantai. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Langsung saja aku temui dia dan mengajakanya ke tempat perlombaan, tanpa kujelaskan terlebih dulu padanya. Dia yang pada waktu itu berpakaian ala kadarnya terlihat bingung melihatku tiba-tiba meraih tangan mungilnya dan membawanya menaiki sepeda motor. “Ibu Rima (panggilanku di sekolah) mau mengajak Siti ke mana?” “Kok terburu-buru sekali?”, tanyanya sewaktu di jalan. Aku yang pada saat itu berada di jalan raya yang ramai dengan kendaraan mencoba menjelaskan. “Siti maafin Ibu yaa.. tiba-tiba membawamu secara paksa”, ujarku singkat. “Kita akan menuju tempat perlombaan cerdas cermat yang diadakan 1 jam lagi, jadi Ibu tidak bisa menjelaskan lebih jauh kepadamu”, jelasku dengan tergesa-gesa. “Apa?? Cerdas cermat?” jawabnya tak percaya. “Tapi..bu…(belum selesai dia bicara lalu kupotong) tapi, kamu harus siap bagaimanapun keadaannya karena ini penting sekali. Oke”, ucapku singkat.

Sesampainya di tempat, kami menuju tempat registrasi dan … perhatian-perhatian, dimohon semua peserta perlombaan cerdas cermat segera mempersiapkan diri di area yang telah disediakan. Aku yang mendengar hal itu, segera mendorong-dorong Siti untuk maju ke depan memasuki area mengikuti peserta yang lain. Terlihat sekali rona kebingungan yang tampak dari wajah Siti. Dia hanya menggaruk-garuk kepala karena tidak tahu harus berbuat apa. Aku pun mencoba memandunya. “Siti…siti… kamu sekarang fokus aja ke pembawa acara yang menyampaikan pertanyaannya… ya.. semangat.. Bismillah selalu .Allah with you”, bisikku kepada Siti. Dia pun hanya mengangguk mengiyakan. “Baiklah adik-adik kita mulai yaa soalnya”, kata pembawa acara mengawali. Jantungku waktu itu berdetak kencang luar biasa. Pikiranku melayang ke mana-mana. “Ya Allah bantulah Siti, permudahkanlah dia dalam menjawab semua pertanyaannya dan tenangkanlah dia Ya Allah”, doaku dengan khusyuk. Tenyata pertanyaan yang disampaikan bukanlah pertanyaan seputar pendidikan melainkan pengetahuan umum yang belum pernah diajarkan di sekolah sebelumnya. Soal pertama adalah logika.

Soal itu berbunyi demikian,
Kenapa sopir bus ketika mengemudikan bus berada di sebelah kanan dan tidak berada di sebelah kiri? Dan kenapa pula kita disarankan untuk duduk di sebelah kanan?
Aku yang mendengar soal tersebut sedikit bingung, karena yakin Siti pasti tidak dapat menjawab soal tersebut, Siti sama sekali belum pernah mendengar soal transportasi darat apalagi sopir bus. Di telinganya, itu semua terdengar asing. Namun, di luar dugaan ia dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat sekali. “Emm….saya… saya…menurut saya”,.. ucapnya sambil terbata-bata. “Menurut saya sopir berada di sebelah kanan karena pemakai jalan itu biasanya berada di sebelah kiri jadi kalau sopir itu duduk di sebelah kiri akan menyulitkan orang yang mau duduk di sebelahnya, jadi harus memutar jalan dahulu baru kemudian dapat masuk ke bus, karena itu sopirnya duduk di sebelah kanan. Dan juga, di saat sopir ingin berbelok ke arah kiri, dia akan kesulitan karena jauh dari jangkauan kaca spion yang digunakan untuk melihat keadaan di belakakangnya. Tapi, jika dia berada di sebelah kanan dia akan dengan mudah berbelok ke kanan, dengan mengikuti warna lampu lalu lintas. Jika lampu merah, bus tidak perlu berhenti untuk berbelok ke kiri”.

“Kemudian, kita disarankan duduk di sebelah kanan karena jika suatu saat terjadi kecelakaan, si sopir yang duduk di sebelah kanan akan mencoba memutar kendali ke arah kiri supaya dirinya dapat selamat sewaktu terjatuh ke jurang atau sungai sewaktu bus dalam keadaan terbalik, jadi penumpang yang berada di sebelah kanan dapat terhindar dari kecelakaan atau benturan dan dapat menyelamatkan diri lewat kaca atas. Mungkin begitu jawabannya”,,, jelasnya panjang lebar. Aku yang mendengar hal itu, sangat terkejut. Karena selama ini tak pernah sekalipun aku mengajari hal-hal yang berhubungan dengan transportasi, lalu lintas bahkan keamanan dalam berkendara. “Subhanallah… Siti,” ucapku bangga dan tak percaya.
Memasuki pertanyaan kedua aku semakin gugup setengah mati. “Apa lagi soal yang akan keluar nanti”, pikirku semakin cemas. Soal yang kedua ini sebenarnya mudah tapi ternyata itu menjebak. Soal itu berbunyi demikian,

Di suatu danau terdapat sekumpulan burung camar yang berjumlah 17 ekor, lalu datang seorang pemburu membawa pistol dan dia berhasil menembak 2 ekor, jadi berapakah berapa ekorkah burung yang tersisa? Semuanya peserta berebut menjawab dan hampir seluruhnya menjawab sisa 15 ekor namun, tet.. tot… ternyata buka itu jawabannya. Dan Siti adalah peserta yang belum menjawab, dia terlihat serius memikirkan soal tersebut. 3…2…(hitung mundur oleh sang pembawa acara) “Tunggu”… teriak siti menghentikan penghitungan. “Menurut saya, jawabannya adalah tidak ada!” ucap Siti yakin. Aku yang mendengar jawabannya sedikit heran. “Tidak ada?? Mana mungkin?? Yang tertembak kan 2 jadi” ….batinku mulai bertanya-tanya.

“Begini, pemburu itu berhasil menembak 2 ekor jadi,,, burung-burung yang lain jadi terbang kembali melarikan diri, takut karena mendengar suara tembakan dari pemburu. Jadi tidak ada burung camar pun yang tersisa”, jelas Siti optimis. Masya Allah… aku semakin kagum pada Siti karena dia memang benar-benar anak yang pandai. Sayangnya pada pertanyaan ke-3 dan ke-4 Siti tak dapat menjawab dengan benar, karena soal yang diajukan dalam Bahasa Inggris dan Siti lemah dalam Bahasa Inggris. Nah, sekarang Siti dan salah satu murid dari sekolah lain kedudukannya seimbang. Untuk itu diadakan soal tambahan untuk menentukan siap juaranya. Pertanyaan ini cukup sulit karena aku pernah mengetahui sebelumnya sewaktu aku duduk di bangku SMA.

Beginilah pertanyaanya,
Ada sebuah keluarga yang meninggalkan warisan untuk ketiga putranya, isi warisan itu adalah pembagian ayam sejumlah 23 ekor. Bagian anak pertama adalah ½ bagian, anak kedua 1/3 bagian dan anak terakhir 1/8 bagian. Bagaimana cara kita membagi ayam-ayam tersebut tanpa memotongnya menjadi dua?

Aku perhatikan Siti sedikit kebingungan dan mencoba membuat coretan-coretan di kertas yang sudah disediakan. Begitu pun juga dengan anak tersebut, dia terlihat bingung dan …. 5..4…3…2..(hitungan mundur kembali)… “Saya tahu jawabannya”, teriak Siti gembira. Setelah dipersilakan Siti mulai mengutarakan jawabannya, angka 23 tidak bisa di bagi dengan penyebut 2, 3, dan 8 jadi di sini saya akan menambahkan 1 angka lagi menjadi 24. Dari pembagian inilah saya dapatkan bagian anak pertama adalah 12 ekor ayam, anak kedua 8 ekor ayam, dan anak ketiga 3 ekor ayam. Jika dijumlahkan akan diperoleh 12 + 8 +3 = 23 ekor. Jadi satu ayam tadi adalah ayam bohongan. “Itu mungkin jawabannya”, jelasnya sedikit takut. Aku yang menyaksikan langsung apa yang diterangkan oleh Siti merasa takjub. Anak semuda dia dapat menjawab pertanyaan yang mungkin tak semua orang dewasa dapat menjawabnya.

Pembawa acara yang mendengarkan langsung jawaban dari Siti juga tak kalah takjubnya. “Benarrrr sekali…selamat kepada Siti. Kamu menjadi juara pada perlombaan kali ini. Sebagai tanda penghargaan, Siti mendapatkan sertifikat, piala, dan sejumlah uang pembinaan. Siti pun langsung sujud syukur mengetahui bahwa dirinya kini menjadi juara. Siti langsung berlari menghampiriku dan memelukku erat. Dia menangis, tapi bukan karena sedih tapi karna bahagia luar biasa. “Selamat ya Siti.. kamu memang anak yang cerdas. Sekali lagi maafin Ibu yaa… melibatkan kamu secara paksa”, kataku sambil mengusap air mata. Setelah perlombaan usai, kami lantas kembali pulang.
Kedatangan kami disambut baik oleh teman-teman Siti. Dia berlari menghampiri teman-temanya menceritakan pengalaman singkatnya yang sangat berkesan. Aku pun juga ikut senang dan bahagia memiliki murid sepertinya.

Piala ini menjadi piala pertama yang mengisi kelas tempatku mengajar. Siti kau satu-satunya anak perempuan yang berhasil mengalahkan peserta lain yang semuanya adalah laki-laki Semoga prestasimu dapat ditiru dan menjadi teladan bagi teman-temanmu.
Harapanku kelak, mereka dapat menjadi anak-anak yang berguna bagi bangsa dan negara. Anak-anak yang cerdas bukan untuk dirinya sendiri namun untuk seluruh insan di bumi. Anak-anak yang tak kenal putus asa senantiasa berusaha walau kegagalan berulang kali menghampirinya. Anak-anak yang optimis yakin bahwa mereka juga layak bersaing dengan anak-anak dari kota. Kehidupan yang serba terbatas bukanlah menjadi penghalang bagi kita untuk terus berkarya. Yakinilah itu.


****TAMAT***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates